KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu atas Penghasilannya

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu atas Penghasilannya

Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu atas Penghasilannya
Fitri Lestari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu atas Penghasilannya

PERTANYAAN

Saya memiliki rekan sedang dalam proses banding pada perkara perceraian di Pengadilan Agama (PA). Salah satu putusan PA adalah menafkahi anak, mut’ah, dan iddah, yang diputus hakim berdasarkan keterangan suaminya dan bukti yang disampaikan. Menurut rekan saya, putusan hakim tersebut sangat tidak adil karena dia mengetahui kisaran penghasilan suaminya. Rekan saya juga bisa membuktikan dengan bukti otentik berupa rekening koran yang dikeluarkan bank secara resmi lengkap dengan stempel bank, yang menyatakan penghasilan suami jauh lebih besar (lebih dari 5 kali lipat) daripada yang diakui saat sidang (pernyataan di atas sumpah). Bisakah rekan saya memperkarakan suaminya atas keterangan palsu di atas sumpah sesuai Pasal 242 KUHP tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, setelah perceraian orang tuanya, anak tetap berhak atas nafkah dari kedua orang tuanya. Dalam kasus rekan Anda, hakim telah memutuskan bahwa mantan suami rekan Anda yang berkewajiban menafkahi anak. Namun mantan suami rekan Anda telah memberikan keterangan palsu mengenai penghasilannya.
     
    Atas hal tersebut, rekan Anda dapat menuntut mantan suaminya atas keterangan palsu dengan dibuktikan slip gaji atau dokumen lain serta bukti lain yang dapat membuktikan penghasilan mantan suami rekan Anda.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Anak Pasca Perceraian
    Kewajiban mantan suami (atau orang tua) memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yakni:
     
    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
    1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
    3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
     
    Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa mantan suami berkewajiban menafkahi anak dan bekas istrinya pasca perceraian, maka hal tersebut wajib dilaksanakan oleh suami.
     
    Namun mantan suami rekan Anda tidak memberikan keterangan yang sesuai atas kisaran penghasilan yang diperoleh saat di persidangan, sehingga mempengaruhi besaran nafkah yang diwajibkan hakim kepada mantan suami rekan Anda. Dalam Undang-undang sudah jelas mengatur mengenai pihak ayah yang menjadi penanggung jawab utama,[1] tetapi tidak dapat dipungkiri memang bahwa UU Perkawinan di Indonesia yang merupakan hukum positif untuk perkawinan dan perceraian, tidak menyebutkan secara detail mengenai seberapa besar biaya tunjangan anak yang harus diberikan oleh ayah.
     
    Pengaturan yang jelas hanya disebutkan untuk Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 45/1990”), yakni:
     
    1. Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya;
    2. Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya;
     
    Sementara itu untuk Non-PNS tidak ada peraturan yang mengatur besaran nafkah yang diperoleh anak dan bekas istri. Berdasarkan jumlah penghasilan pihak suami saat proses perceraian di pengadilan, istri dapat mengajukan bukti berupa slip gaji atau dokumen lain yang dapat menunjukkan besarnya penghasilan mantan suami.
     
    Jika Suami Memberikan Keterangan Palsu terhadap Penghasilannya di Persidangan
    Apabila memang benar bahwa kisaran penghasilan mantan suami rekan Anda tidak sesuai dengan keterangan yang diberikan di persidangan, maka perbuatan tersebut dapat dikenakan pidana perihal memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yakni:
     
    Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
     
    Mengenai hal tersebut, rekan Anda dapat menuntut mantan suami rekan Anda karena telah memberikan keterangan palsu, sehingga putusan pengadilan mengakibatkan besaran tunjangan tidak sesuai dengan penghasilan mantan suami. Dikarenakan dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
    1. keterangan saksi;[2]
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk; dan
    5. keterangan terdakwa.
     
    Sebagaimana pernah dijelaskan dalam arikel Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?, Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (hal. 19) berpendapat bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.
     
    Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehingga rekan Anda perlu menunjukkan minimal dua alat bukti yang sah yang menunjukan besaran penghasilan mantan suami rekan Anda yang sebenarnya agar dapat dikenakan pidana atas tindakan memberikan keterangan palsu.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

    [1] Pasal 41 huruf b UU Perkawinan
    [2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

    Tags

    hukumonline
    google

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!