Pemberi kuasa telah menyatakan bahwa memberikan kuasa kepada pengacara untuk mendampingi di pengadilan mulai dari Pengadilan Negeri sampai kasasi di Mahkamah Agung. Tetapi pada saat kasus akan dikasasi, kenapa pengacara saya meminta untuk dibuatkan surat kuasa khusus lagi? Bukankah surat kuasa pertama sudah menyatakan akan mewakili saya dari awal sampai kasasi? Apakah saya dibodohi? Apakah surat kuasa untuk kasasi harus dibuat tersendiri lagi?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pasal 44 ayat (1) huruf aUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menggariskan bahwa apabila yang mengajukan permohonan kasasi adalah kuasa, agar permohonan memenuhi syarat, maka harus berdasarkan surat kuasa yang khusus dibuat untuk itu. Artinya untuk setiap tingkat pemeriksaan, harus dibuat surat kuasa khusus, yang terpisah dan tersendiri untuk masing-masing instansi pengadilan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Catatan:
Klinik Hukumonline telah menerima beberapa masukan dari pembaca berkaitan dengan artikel jawaban ini. Masukan-masukan tersebut telah kami tambahkan dalam artikel ini sehingga jawaban kami menjadi lebih lengkap dari sebelumnya.
Pemberian Kuasa
Untuk memahami pengertian pemberian kuasa secara umum, kita dapat merujuk pada Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)yang berbunyi:
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.[1]
Pemberi kuasa dapat memberikan surat kuasa (tertulis), antara lain:
Surat Kuasa Umum
Surat kuasa umum, berdasarkan Pasal 1796 KUH Perdata, dinyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Sehingga, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus.
Surat Kuasa Khusus
Pemberian kuasa ini dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa (lihat Pasal 1795 KUH Perdata). Dalam surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi, karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat kuasa khusus.
Menurut Pasal 44 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) sebagaimana terakhir kali diubah olehUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,permohonan kasasidapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 25) menjelaskan bahwa Pasal 44 ayat (1) huruf aUUMA ini menggariskan, apabila yang mengajukan permohonan kasasi adalah kuasa, agar permohonan memenuhi syarat, harus berdasarkan surat kuasa yang khusus dibuat untuk itu. Jadi, untuk setiap tingkat pemeriksaan, harus dibuat surat kuasa khusus, yang terpisah dan tersendiri untuk masing-masing instansi pengadilan.
Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa hal ini didukung juga dengan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/Pdt/1991. Jika sejak semula pemberi kuasa telah memberi kuasa kepada seseorang untuk bertindak mewakili sejak peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, surat kuasa itu tidak valid dipergunakan pada tingkat kasasi. Sehingga, harusdibuat lagi surat kuasa yang khusus pada tingkat kasasi.
Memang sebelumnya para praktisi hukum dan hakim berpedoman pada yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/Pdt/1991 yang mengatakan bahwa harus dibuat lagi surat kuasa yang khusus pada tingkat kasasi.
Untuk menciptakan keseragaman dalam hal pemahaman terhadap Surat Kuasa Khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada Badan-badan Peradilan, maka dengan ini diberikan petunjuk sebagai berikut:
Surat Kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya:
dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya.
Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebut Pasal-pasal KUHAP yang didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.
Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan suatu surat khusus yang baru.
Tentang surat kuasa yang telah menyebutkan untuk digunakan dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi dan peninjauan kembali, disepakati:
Apabila surat kuasa tersebut dengan tegas menyebut untuk digunakan dalam tingkat Pengadilan Negeri, Banding dan Kasasi, maka tidak diperlukan lagi surat kuasa khusus untuk tingkat banding dan kasasi. (pedoman SEMA 6/1994).
Namun apabila surat kuasa menyebutkan untuk digunakan sampai dengan pemeriksaan peninjauan kembali, tetap diperlukan adanya surat kuasa khusus untuk peninjauan kembali, karena peninjauan kembali bukan peradilan tingkat selanjutnya dari tingkat pertama, banding dan kasasi. Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa sehingga harus dibedakan dengan upaya hukum biasa dalam penilaian atas keberadaan surat kuasa yang digunakan.
Ketentuan sebagaimana tersebut dalam SEMA No.6 Tahun 1994 huruf a dan b tersebut juga berlaku terhadap surat kuasa yang diberikan secara lisan.