Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apa itu Maladministrasi dan Bentuk-bentuknya

Share
Kenegaraan

Apa itu Maladministrasi dan Bentuk-bentuknya

Apa itu Maladministrasi dan Bentuk-bentuknya
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol

Bacaan 11 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya membaca bahwa tindakan pungli yang dilakukan oleh oknum pemerintah merupakan tindakan maladministrasi. Mohon dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan maladministrasi? Selain pungli, apa contoh maladministrasi lainnya dan apa sanksi maladministrasi? Ke mana kita bisa melaporkan tindakan maladministrasi?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

    Bentuk-bentuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.

    Lalu, apa sanksi maladministrasi dan ke mana kita bisa melaporkan tindakan maladministrasi?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    KLINIK TERKAIT

    PNS Keberatan Dimutasi? Lakukan Upaya Ini

    20 Mar, 2024

    PNS Keberatan Dimutasi? Lakukan Upaya Ini

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bentuk-Bentuk Maladministrasi yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 22 Desember 2016.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Apa itu Maladministrasi?

    Menurut Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

    Dalam buku saku Memahami Maladministrasi, Hendra Nurtjahjo dkk mendefinisikan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik yakni meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut (hal. 4).

    Perlu diketahui bahwa pihak atau subjek yang dapat dikatakan melakukan maladministrasi adalah penyelenggara negara yaitu pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1] Selain itu, termasuk juga Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”), Badan Usaha Milik Daerah (“BUMD”), Badan Hukum Milik Negara (“BHMN”) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.[2]

    Dalam hukum positif Indonesia, ada sembilan kriteria untuk bisa dikategorikan sebagai maladministrasi, yaitu:[3]

    1. Perilaku dan perbuatan melawan hukum;
    2. Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang;
    3. Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut;
    4. Kelalaian;
    5. Pengabaian kewajiban hukum;
    6. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
    7. Dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan;
    8. Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil;
    9. Bagi masyarakat dan orang perseorangan.

    Adapun, contoh maladministrasi antara lain pungli, pejabat yang membuat kebijakan atau keputusan berdasarkan kedekatan personal dan bersikap diskriminatif, melakukan tindakan pemerasan, dan sebagainya. Selengkapnya mengenai bentuk-bentuk maladministrasi akan kami jabarkan di bawah ini.

     

    Bentuk-bentuk Maladministrasi

    Menjawab pertanyaan Anda, bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.[4]

    Hendra dkk menjelaskan yang termasuk bentuk tindakan maladministrasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya:[5]

    1. Mis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor.
    2. Deceitful practice yaitu praktik-praktik kebohongan, tidak jujur terhadap publik. Masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan birokrat.
    3. Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk di dalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya, orang lain, kelompok maupun korporasi yang merugikan keuangan negara.
    4. Defective policy implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindaklanjuti menjadi kenyataan.
    5. Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:
    1. Indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul kasus-kasus yang dipetieskan.
    2. Red tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.
    3. Cicumloution yaitu penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan gejolak masa. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
    4. Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus per kasus.
    5. Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala “Asal Bapak Senang”. Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.
    6. Over staffing yaitu gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.
    7. Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.
    8. Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaimana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabui. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.

    Masih bersumber dari buku yang sama, ada pendapat lain mengenai bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat yaitu:[6]

    1. Ketidakjujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidakjujuran antara lain: menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadi, menerima uang, dll.
    2. Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini adalah tindakan yang mungkin tidak bersalah secara hukum, tetapi melanggar etika sebagai administrator.
    3. Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.
    4. Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.
    5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan faktor like and dislike. Yaitu orang yang disenangi cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak bagus. Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan terbatas.
    6. Inefisiensi bruto (gross inefficiency), adalah kecenderungan suatu instansi publik memboroskan keuangan negara.
    7. Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak diliput kesalahannya.
    8. Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.

    Selain itu, terdapat pula bentuk-bentuk lain dari maladministrasi yaitu:[7]

    1. Maladministrasi terkait dengan ketepatan waktu dalam proses pemberian pelayanan umum, terdiri atas tindakan penundaan berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban.
    2. Maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi, yang terdiri atas persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-nyata berpihak.
    3. Maladministrasi yang lebih mencerminkan bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, terdiri atas pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan perbuatan melawan hukum.
    4. Maladministrasi yang terkait dengan kewenangan/kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat, yang terdiri atas tindakan di luar kompetensi, pejabat yang tidak kompeten menjalankan tugas, intervensi yang memengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpangi prosedur tetap.
    5. Maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi seseorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seperti tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak.
    6. Maladministrasi yang mencerminkan bentuk korupsi secara aktif, yaitu terdiri atas pemerasan atau permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.

     

    Ke Mana Melaporkan Tindakan Maladministrasi?

    Jika menemui tindakan-tindakan maladministrasi sebagaimana disebutkan di atas, Anda dapat melaporkannya kepada Ombudsman.

    Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.[8]

    Adapun, tugas Ombudsman dalam menangani maladministrasi menurut Pasal 7 UU Ombudsman adalah:

    1. menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
    2. melakukan pemeriksaan substansi atas laporan;
    3. menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
    4. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
    5. melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
    6. membangun jaringan kerja;
    7. melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
    8. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

    Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, Ombudsman berwenang:[9]

    1. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
    2. memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan;
    3. meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor;
    4. melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan;
    5. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
    6. membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
    7. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi;
    8. menyampaikan saran kepada presiden, kepala daerah, atau pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
    9. menyampaikan saran kepada DPR dan/atau presiden, DPRD dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi.

    Dengan demikian, Anda dapat melaporkan tindakan maladministrasi tersebut kepada Ombudsman, yang nantinya akan ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan, penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi, mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi, membuat rekomendasi, hingga menyampaikan saran kepada presiden, DPR, kepala daerah, dan DPRD.

    Terhadap terlapor maladministrasi yang tidak melaksanakan rekomendasi dari Ombudsman akan dikenai sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[10] Adapun, sanksi maladministrasi yang dapat dilihat ketentuan Pasal 54 UU 25/2009 yang dikenakan sesuai dengan jenis tindakan maladministrasinya, antara lain:

    1. Teguran tertulis;
    2. Sanksi pembebasan dari jabatan;
    3. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun;
    4. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 tahun;
    5. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri;
    6. Pemberhentian tidak dengan hormat;
    7. Pembekuan misi dan/atau izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah;
    8. Pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
    2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

    Referensi:

    Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013.


    [1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU Ombudsman”)

    [2]Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 9, lihat Pasal 1 angka 1 UU Ombudsman

    [3] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. iii

    [4] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 5

    [5] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 12-13

    [6] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 13-14

    [7] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 14 – 17

    [8] Pasal 1 angka 1 UU Ombudsman

    [9] Pasal 8 UU Ombudsman

    [10] Pasal 39 UU Ombudsman

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?