Saya ingin bertanya, jika ada foto/gambar mengenai sebuah kue atau cake yang berbentuk organ intim wanita maupun pria dan diupload ke media sosial, apakah hal tersebut melanggar UU Pornografi atau UU ITE 2024?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada intinya, paling tidak, terdapat 3 pasal yang relevan terkait perbuatan mengunggah gambar kue berbentuk organ intim tersebut, yaitu Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, Pasal 407 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru, dan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi.
Lantas, bagaimana bunyi pengaturan selengkapnya terkait pengunggahan gambar tidak senonoh?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Josua Sitompul, S.H., IMM dan dipublikasikan pertama kali pada 27 Oktober 2016, kemudian dimutakhirkan oleh Saufa Ata Taqiyya, S.H. pada 12 Juli 2021.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Menyebarkan Muatan yang Melanggar Kesusilan dalam UU 1/2024
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada dasarnya, dalam UU ITE dan perubahannya tidak dikenal istilah pornografi, melainkan “muatan yang melangar kesusilaan”. Perbuatan menyebarkan muatan yang melanggar kesusilaan adalah perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.
Dari bunyi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 di atas, terdapat beberapa penjelasan unsur sebagai berikut:[1]
“Menyiarkan” yaitu termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik dalam sistem elektronik.
“Mendistribusikan” yaitu mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik.
“Mentransmisikan” adalah mengirimkan informasi dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik.
“Membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
“Melanggar kesusilaan” yaitu melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Adapun pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard).
“Diketahui umum” yaitu untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.
Adapun, orang yang melanggar Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024.
Namun, perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tidak dipidana dalam hal:[2]
dilakukan demi kepentingan umum;
dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.
Kemudian, menyambung pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami berdasarkan Lampiran SKB UU ITE yang menerangkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran muatan yang melanggar kesusilaan, sebelum diubah dengan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan (hal. 5 – 7):
Makna frasa “muatan yang melanggar kesusilaan” dalam arti sempit dimaknai sebagai konten pornografi yang diatur dalam UU Pornografi, dan/atau delik yang berkaitan dengan kesusilaan dalam Pasal 281 dan 282 KUHP. Sedangkan dalam arti luas, dapat diartikan sebagai konten yang berisi suatu hal yang dianggap melanggar aturan sosial yang disepakati oleh masyarakat, yang mana aturan tersebut dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis dan sudah disepakati sejak lama.
Tidak semua pornografi atau ketelanjangan itu melanggar kesusilaan, harus dilihat konteks sosial budaya dan tujuan muatan itu. Contohnya, dalam pendidikan kedokteran tentang anatomi, gambar ketelanjangan yang dikirimkan pengajar kepada anak didik dalam konteks keperluan kuliah bukanlah pelanggaran kesusilaan.
Fokus perbuatan yang dilarang pada pasal ini adalah pada perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan melanggar kesusilaan, dan bukan pada perbuatan kesusilaannya.
Selain diatur dalam UU 1/2024, tindakan menyebarluaskan konten bermuatan pornografi juga diatur dalam Pasal 407 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[3] yakni pada tahun 2026 sebagai berikut:
Setiap Orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV, yaitu Rp200 juta[4] dan pidana denda paling banyak kategori VI, yaitu Rp2 miliar.[5]
Lalu, perbuatan di atas tidak dipidana jika merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.[6]
Kemudian, penting untuk diketahui bahwa pada saat KUHP baru mulai berlaku, Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 (sebelum diubah oleh Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[7]
Menyiarkan Konten Pornografi menurut UU Pornografi
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
kekerasan seksual;
masturbasi atau onani;
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
alat kelamin; atau
pornografi anak.
Lalu, orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi berpotensi dipidana penjara minimal 6 bulan dan maksimal 12 tahun dan/atau pidana denda minimal Rp250 juta dan maksimal Rp6 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi.
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut, menurut hemat kami terdapat 3 elemen yang harus dipenuhi apabila sesuatu hal dianggap pornografi, yaitu:
Berbagai jenis konten (gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum);
Konten tersebut memuat kecabulan atau eksploitasi seksual;
Kecabulan dan eksploitasi seksual yang dimaksud haruslah melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Mengingat keterbatasan informasi yang Anda sampaikan, maka perlu diperhatikan sejak penyusunan UU Pornografi (dahulu Anti Pornografi dan Porno Aksi) berbagai pihak, baik para akademisi, praktisi, dan masyarakat secara luas, telah menyoroti dan membahas sisi subjektivitas pornografi. Jika dilihat lebih jauh ke belakang, sejak tahun 1980-an hal ini juga sudah diperdebatkan di kalangan praktisi maupun akademisi hukum.
Sebagai contoh, dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN tahun 1986, isu pornografi menjadi salah satu sorotan. Salah satu hal yang dapat disimpulkan dari simposium tersebut terkait dengan pengertian pornografi ialah "makin didiskusikan, makin kabur pengertian pornografi itu" (hal. 69).
Akan tetapi kekaburan pengertian operasional ini tidak dapat (dan tidak juga) dijadikan alasan untuk tidak menerapkan ketentuan-ketentuan pornografi. Setelah berselang lebih dari 30 tahun, apakah ketentuan-ketentuan pornografi atau kesusilaan menjadi crystal clear? Tidak, dan mungkin sisi subjektivitas pornografi akan tetap menjadi pembahasan penting hingga bertahun-tahun ke depan.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, dapat disimpulkan bahwa:
Muatan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tidak hanya bisa diartikan secara sempit saja berdasarkan UU Pornografi maupun KUHP, akan tetapi disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard).
Perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 dan Pasal 407 ayat (1) UU 1/2023 tidak dapat dipidana jika informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.
Jeratan hukum atas pelanggaran Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi terkait istilah “eksplisit”. Apakah kue berbentuk organ intim masuk ke dalam kategori ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan? Bisa ya dan bisa tidak. Maka, harus dipastikan adakah titik sentral untuk menentukan bahwa organ tersebut dalam kondisi telanjang?
Dalam hal berkaitan dengan seni, Anda bisa merujuk pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Wonosobo Nomor 39/Pid.Sus/2014/PN.WSByang menjelaskan bahwa seni dan budaya merupakan hak mendasar manusia, namun oleh karena sudah menyangkut ranah publik, maka ekspresi seni dan budaya tersebut harus diimplementasikan sesuai dengan norma-norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dalam hal ini norma kesopanan, norma kesusilaan serta hukum yang berlaku (hal. 22).