Namun, terdapat pengecualian terhadap larangan tersebut, asalkan dilakukan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing. Kearifan lokal seperti apa yang dimaksud?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bolehkah Membuka Lahan dengan Cara Membakar Hutan? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 10 Februari 2016.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Di Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai membuka lahan dengan cara membakar, di antaranya yaitu:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
Secara umum, tindakan sengaja menimbulkan kebakaran diatur dalam Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dengan ancaman pidana sebagai berikut:
Jika menimbulkan bahaya bagi barang, pidana penjara maksimal 12 tahun;
Jika menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain, pidana penjara maksimal 15 tahun;
Jika menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati, pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu maksimal 20 tahun.
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”)
Namun, ketentuan ini dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan pembukaan lahan tersebut dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.[1] Kearifan lokal yang dimaksud yaitu melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.[2] Ini artinya, membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan persyaratan tertentu.
Adapun ancaman pidana bagi yang melakukan pelanggaran terhadap larangan di atas adalah penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda antara Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.[3]
Selain itu, jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:[4]
badan usaha; dan/atau
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.[5]
Setiap orang yang dengan sengaja membakar hutan diancam pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp7,5 miliar. Jika kebakaran hutan disebabkan karena kelalaian, diancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp3,5 miliar.[6]
Setiap pelaku usaha perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.[7]
Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana, korporasi juga dipidana denda maksimum ditambah 1/3 dari pidana denda.[8]
Adapun jika perbuatan tersebut dilakukan oleh pejabat sebagai orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan di bidang perkebunan, pejabat tersebut dipidana dengan ancaman pidana sebagaimana dijelaskan di atas ditambah 1/3.[9]
Sebagai penjelasan lebih lanjut dari pengecualian dalam UU PPLH, Permen LH 10/2010 menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.[10] Namun, pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering,[11] sesuai dengan publikasi dari lembaga nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi,dan geofisika.[12]
Peraturan Daerah
Serupa dengan apa yang diatur dalam UU PPLH dan Permen LH 10/2010, ada pula peraturan daerah setempat yang “membolehkan” membuka lahan dengan cara membakar, khusus bagi anggota masyarakat hukum adat.
Dalam Perda ini, diatur bahwa setiap orang atau perusahaan dilarang melakukan kegiatan pembakaran lahan.[13] Tapi larangan ini dikecualikan untuk hal-hal yang bersifat khusus yang berada pada lahan bukan gambut dengan luas lahan maksimal 1 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis padi dan/atau tanaman pangan semusim.[14] Pemberian izin pembakaran ini diberikan maksimal 20 hektar dalam 1 wilayah desa pada hari yang sama.[15]
Namun, untuk perlindungan ekosistem lahan gambut, pembakaran lahan tidak dapat diberikan izin dengan alasan apapun.[16]
Selain itu, pembakaran ini hanya dapat dilakukan oleh petani peladang/pekebun yang berasal dari anggota masyarakat hukum adat[17] serta tidak dapat dilakukan bersamaan dengan lahan lain yang berjarak 1 kilometer dari lahan yang mendapat izin dilakukan pembakaran.[18] Meski demikian, pengecualian ini tidak berlaku apabila Gubernur menyatakan status siaga darurat bencana.[19]
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, diketahui terdakwa melakukan pembakaran lahan dan sudah memberikan pemberitahuan kepada kepala desa. Tapi, kepala desa memperingatkan adanya keputusan Pemerintah Daerah Murung Raya terkait status darurat bencana kebakaran hutan lahan dan kebun (hal. 25 dan 26), dimana pada masa tersebut setiap orang dilarang melakukan pembakaran hutan atau lahan (hal. 28).
Atas perbuatan tersebut, terdakwa dipidana penjara 7 bulan dan denda Rp50 juta dengan ketentuan jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.