Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Apakah perusahaan diperkenankan untuk menambahkan aturan larangan berhijab bagi pekerja wanita sebagai prasyarat penerimaan pegawai? Terima kasih.
Perusahaan dilarang membuat aturan soal larangan berhijab/berjilbab bagi pekerja wanitanya maupun bagi calon pekerja wanita sebagai syarat penerimaan pegawai. Selain perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perlakuan diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama, perbuatan tersebut juga dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi pekerja untuk melaksanakan ibadah.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
1. Perbuatan Diskriminasi
Perbuatan pengusaha yang menambahkan aturan tentang larangan berhijab/berjilbab bagi pekerja wanita dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminasi terhadap pekerja atas dasar agama. Terkait hal ini, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”) berbunyi:
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Penjelasan:
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Penjelasan:
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan di atas menegaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan diskriminasi terhadap pekerjanya maupun calon pekerja yang ingin bekerja di perusahaannya karena pada dasarnya tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, baik itu berdasarkan agama, kelamin, suku, ras maupun aliran politik.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang dalam penerimaan pegawai ingin melamar pekerjaan dilarang berjilbab oleh pengusaha, maka perbuatan pengusaha tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan diskriminasi atas dasar agama. Jika pengusaha melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan, menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengenakan sanksi administratif kepada pengusaha sesuai Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan berupa:
a.teguran;
b.peringatan tertulis;
c.pembatasan kegiatan usaha;
d.pembekuan kegiatan usaha;
e.pembatalan persetujuan;
f.pembatalan pendaftaran;
g.penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi;
h.pencabutan ijin.
Masih berkaitan dengan diskriminasi di tempat kerja, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 Panduan Kesempatan Dan Perlakuan Yang Sama Dalam Pekerjaan Di Indonesia (Equal Employment Opportunity). Dalam sebuah pemaparan mengenai panduan yang kami akses dari laman resmi International Labour Organization dikatakan bahwa kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan yang selanjutnya dapat disebut Equal Employment Opportunity (EEO) mencakup segala kebijakan termasuk pelaksanaannya yang bertujuan untuk penghapusan diskriminasi di dunia kerja. Ini artinya, kebijakan soal larangan berjilbab bagi pekerja wanita juga termasuk kategori diskriminasi pekerjaan.
Contoh kasus larangan pekerja untuk berjilbab oleh pengusaha yang dikategorikan sebagai perbuatan diskriminasi adalah pelarangan karyawan perempuan untuk berjilbab di sebuah toko apotek di daerah Jawa Barat. Dalam artikel Ini Saran HTI Soal Larangan Jilbab Karyawan, Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Mataram H Ahsanul Khalik mengatakan bahwa larangan bagi karyawan berjilbab itu melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan perusahaan tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pekerja, apakah itu atas nama agama, jenis kelamin atau lain sebagainya.
Pada dasarnya, dalam hal terjadi perselisihan dalam hubungan kerja, wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat [Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”)]. Artinya, pekerja yang berkeberatan atas perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh pengusaha wajib merundingkannya secara damai antara pekerja dengan pengusaha.
Seperti yang pernah dijelaskan dalam artikel Bolehkah Perusahaan Mem-PHK Pekerja Wanita Karena Kurang Cantik?, jika perundingan bipartit tidak berhasil, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan (Pasal 4 ayat [1] UU No. 2/2004).
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Dalam hal penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU No. 2/2004).
2. Perbuatan Pelanggaran HAM
Mengenakan jilbab merupakan bentuk pelaksanaan ibadah yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam beragama. Hak beragama itu sendiri telah termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Hak beragama tersebut berdasarkan Pasal 4 UU HAM merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, termasuk pengusaha yang melarang pekerjanya untuk mengenakan jilbab sebagai syarat dalam penerimaan pekerja. Ini artinya, mengenakan jilbab sepenuhnya merupakan hak asasi yang pekerja miliki dan tidak bisa dilarang oleh pengusaha.
Sebagai pihak yang direnggut haknya, pekerja dapat mengambil langkah hukum dengan melakukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pengaduan pada Komnas HAM ini dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 90 ayat (1) UU HAM:
“Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.”
Sebagai contoh kasus soal pelanggaran hak asasi pekerja untuk beribadah (mengenakan jilbab) adalah kasus Niat Ayudia Satta yang melaporkan Blitzmegaplex perusahaan tempatnya bekerja ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”). Pengaduan Ayudia bermula dari larangan oleh pengusaha memakai jilbab pada saat jam kerja bagi mereka yang bertugas di bagian operasional yang tertuang dalam peraturan perusahaan. Ia merasa tindakan perusahaan bertentangan dengan prinsip-prinsip penghormatan dan pemajuan HAM. Berita lebih lanjut tentang ini dapat Anda simak dalam artikel Komnas HAM: Blitzmegaplex Terindikasi Melanggar Hak Pekerja.