Saya mau bertanya. Singkatnya begini. Ini dimulai dari pembayaran gaji yang dilakukan perusahaan tidak sesuai dengan data kehadiran karyawan plus upah lembur. Dan hal ini dilakukan perusahaan tanpa penjelasan. Memang sebelumnya yang bersangkutan aktif di kepengurusan serikat pekerja. Si pekerja sudah berusaha bertanya kepada atasan tapi tidak diperdulikan. Alhasil, si pekerja meminta penyelesaian bipartit kepada pihak manajemen dan mempertanyakan permasalahan tadi. Kemudian dalam hasil perundingan belum ada keputusan. Lalu si pekerja saat itu diberikan surat skorsing 1 bulan yang bunyinya diistirahatkan dari tugas karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk bekerja. Kemudian setelah baru menjalani 4 hari dalam masa surat tersebut, si pekerja tiba-tiba di-PHK. Bagaimana pandangan dari Hukumonline atas kasus ini? Apakah perusahaan bisa begitu saja menutupi kesalahan dan langsung melakukan PHK karyawan dalam masa skorsing? Apakah hal ini dibenarkan oleh UU Ketenagakerjaan? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Mengenai upah yang didasarkan kehadiran, hal ini lazim dihubungkan dengan prinsip no work no pay yang dikenal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Singkatnya, jika pekerja tidak bekerja, maka upah tidak dibayar.
Lalu, bagaimana dengan pekerja yang dikenakan skorsing dan tiba-tiba kemudian diputus hubungan kerjanya (“PHK”), apakah dibenarkan tindakan perusahaan yang demikian?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Di-PHK Ketika Sedang ‘Dirumahkan’ yang dibuat olehUmar Kasimdan dipublikasikan pertama kali pada 13 Februari 2014.
Pertama-tama dapat kami jelaskan, bahwa gaji atau upah yang didasarkan kehadiran pada sistem pengupahan bagi pekerja dalam hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja bisa dikaitkan atau bahkan lazim dihubungkan dengan prinsip no work no pay. Dalam arti, jika pekerja tidak bekerja, maka upah tidak dibayar (when do not work do not get pay). Hal ini sesuai dengan yang diatur Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Namun prinsip tersebut tidak berlaku bagi ketidakhadiran karena sakit, perempuan yang sakit karena haid, cuti hamil dan melahirkan, kemudian menikah/menikahkan, mengkhitan/membaptiskan anak, istri melahirkan atau gugur kandung, keluarga dekat (serumah) ada yang meninggal dunia, menjalankan kewajiban terhadap negara, menjalankan (menunaikan) ibadah wajib yang diperintahkan, pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, karyawan melaksanakan hak istirahat (cuti), karyawan melaksanakan tugas serikat pekerja atas persetujuan pengusaha, atau jika karyawan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.[1]
Artinya upah wajib tetap dibayar jika ketidakhadiran berkenaan dengan peristiwa-peristiwa di atas. Namun sebaliknya, di luar dari ketidakhadiran yang disebutkan di atas, berlaku ketentuan no work no pay.
Berbeda halnya dengan tunjangan tidak tetap. Apapun alasannya sepanjang pekerja tidak masuk kerja atau tidak hadir (absent), baik karena izin, mangkir maupun karena alasan penting (seperti tersebut di atas), tunjangan tetap dapat dipotong/tidak dibayarkan untuk hari di mana pekerja yang bersangkutan tidak hadir.
Upah Lembur
Permasalahan kedua, sesuai Pasal 81 angka 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa pengusaha yang mempekerjakan karyawannya melebihi waktu kerja normal wajib membayar upah kerja lembur.
Dalam kaitan ini, pelaksanaan waktu kerja lembur yang dimaksud, haruslah atas dasar persetujuan pekerja yang bersangkutan, dan tidak boleh melampaui 4 jam per hari dan kumulatif 18 jam per minggu.[2]
Selain itu, dalam pelaksanaan waktu kerja lembur, perintah dan kesepakatan atas waktu kerja lembur dapat dibuat secara tertulis dan/atau melalui media digital yang dibuat dalam bentuk daftar pekerja yang bersedia bekerja lembur dan ditandatangani oleh pekerja dan pengusaha. Kemudian, pengusaha harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.[3]
Pengusaha yang tidak membayar upah kerja lembur dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta.[4]
Skorsing dan PHK
Selanjutnya menjawab pertanyaan Anda mengenai tindakan skorsing yang berdalih diistirahatkan kemudian tiba-tiba dilakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”), seharusnya diupayakan agar tidak terjadi PHK sebelumnya. Dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja dan/atau serikat pekerja.[5]
Jika alasan PHK sudah diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan, dan ia menolak PHK tersebut, penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja dan/atau serikat pekerja.[6] Jika perundingan bipartit tidak juga berhasil, PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang selengkapnya dapat Anda simak dalam Karyawan Menolak Vaksinasi COVID-19, Boleh di-PHK?.
Kemudian, perihal skorsing, Pasal 81 angka 46 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 157A ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyebutkan:
Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Yang dimaksud dengan "hak lainnya" yaitu hak-hak lain yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur.[7]
Perlu diperhatikan, kewajiban membayar upah tersebut dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya, dalam artian penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/ konsiliasi/arbitrase atau pengadilan hubungan industrial.[8]
Artinya, dalam hal pengusaha melakukan tindakan skorsing dalam rangka PHK, maka itu artinya pengusaha melepaskan haknya untuk menerima hasil pekerjaan dari karyawan, akan tetapi tidak boleh melepaskan kewajibannya untuk membayar upah karyawan yang bersangkutan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.