Status Hukum Anak Hasil Married by Accident
Bacaan 10 Menit
PERTANYAAN
Bagaimana kedudukan hukum bagi anak hasil married by accident dalam hukum positif dan Hukum Islam di Indonesia?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 10 Menit
Bagaimana kedudukan hukum bagi anak hasil married by accident dalam hukum positif dan Hukum Islam di Indonesia?
Istilah married by accident identik dengan perkawinan di bawah umur. Hal ini sebagaimana diungkapkan Heru Susetyo, staf pengajar Fakultas Hukum UI, dalam artikelnya berjudul Pernikahan di Bawah Umur: Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum. Di dalam artikel tersebut dia menulis antara lain bahwa hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by accident) merupakan salah satu penyebab maraknya perkawinan di bawah umur.
Berdasarkan hal itu, kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan anak hasil married by accident adalah anak yang dihasilkan dari hubungan pria dan wanita yang tidak terikat dalam perkawinan. Yang mana pria dan wanita tersebut akhirnya menikah secara sah baik secara agama maupun Negara dan anak tersebut lahir dalam perkawinan sah orangtuanya.
Untuk melihat status hukum anak hasil married by accident tersebut dalam hukum positif Indonesia, kita merujuk pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena itu, selama anak tersebut dilahirkan setelah kedua orangtuanya menikah secara sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah dari perkawinan tersebut.
Akan tetapi, UU Perkawinan memberikan hak kepada suami untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh isterinya dalam perkawinan yang sah. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 44 UU Perkawinan, yaitu si suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bila si suami dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
Sementara itu, dilihat dari Hukum Islam, ada yang dinamakan dengan kawin hamil. Mengenai kawin hamil dijelaskan dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), yaitu seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Jika wanita tersebut telah menikah dengan pria yang menghamilinya sebelum anaknya dilahirkan, maka berdasarkan Pasal 99 KHI, anak tersebut adalah anak yang sah. Ini karena anak yang sah adalah:
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Hukum Islam juga memberikan hak kepada suami untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh isterinya, sebagaimana terdapat dalam Pasal 101 dan Pasal 102 KHI:
“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li'an.”
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat diterima.
Jadi, baik dalam hukum positif Indonesia maupun dalam Hukum Islam, selama anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan sah kedua orangtuanya, anak tersebut adalah anak yang sah dari keduanya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?