Apakah keterangan palsu di bawah sumpah itu harus diproses hukum setelah ada perintah dari hakim? Dan seandainya saksi merasa bahwa keterangan yang diberikan adalah benar atau merasa tidak palsu, apakah saksi tetap bisa diproses sebagai tersangka dan dijerat pasal kesaksian palsu? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Jerat pasal kesaksian palsu atau memberikan keterangan palsu di bawah sumpah dalam persidangan sejatinya telah diatur dalam KUHPyang lama yang masih berlakupada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Sedangkan untuk proses pemeriksaan pembuktian atas dugaan pemberian keterangan palsu itu diatur lebih lanjut dalamKUHAP. Bagaimana prosesnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Albert Aries, S.H., M.H.dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 5 Maret 2013, yang pertama kali dimutakhirkan pada Jumat, 26 Februari 2021.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Apa yang dimaksud dengan sumpah palsu? Sumpah palsu adalah tindak pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah yang mana keterangan itu tidak benar dan bertentangan dengan yang sebenarnya. Mengapa disebut sumpah palsu? Hal ini dikarenakan saksi sebelum memberikan keterangan di sidang pengadilan wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya.
Guna menjawab pertanyaan Anda terkait bagaimana kalau saksi memberikan keterangan palsu, perbuatan ini biasa disebut delik sumpah palsu/keterangan palsu yang diatur dalam KUHPyang lama yang masih berlakupada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026 dengan bunyi berikut ini.
KUHP
UU 1/2023
Pasal 242
Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
Pasal 291
Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara di proses peradilan, dipidana penjara paling lama 7 tahun.
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merugikan tersangka, terdakwa, atau pihak lawan, pidananya dapat ditambah 1/3.
Pasal 373
Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana penjara paling lama 7 tahun.
Disamakan dengan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang menjadi pengganti sumpah.
Sehingga jerat pasal kesaksian palsu atau memberikan keterangan palsu adalah Pasal 242 ayat (1) atau (2) KUHP atau Pasal 291 UU 1/2023 atau Pasal 373 UU 1/2023. Sebagai informasi, sumpah palsu/keterangan palsu adalah delik formil (formeel delict), artinya perumusan unsur-unsur pasalnya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Delik sumpah palsu/keterangan palsu tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik tersebut.
Menjawab pertanyaan Anda, sesuai Pasal 174 KUHAP, apabila keterangan saksi di bawah sumpah dalam suatu persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak benar), maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Selanjutnya, apabila saksi tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa (maupun penasihat hukumnya) dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan. Kemudian, panitera pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh hakim ketua dan panitera, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.[2]
Asep Iwan Iriawan (mantan hakim) menjelaskan dalam praktik, hakim berhak menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi berbohong, maka hakim ketua akan menangguhkan sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota.[3] Jika musyawarah mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.
Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu. Tentunya dengan ketentuan, hakim sebelumnya harus memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana.
Jadi, ketegasan hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, khususnya dalam hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.
Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu, namun tetap diproses, maka berpadanan pada asas presumption of innocence (praduga tak bersalah), soal bersalah atau tidak bersalahnya itu adalah bergantung dari proses pembuktian perkara di pengadilan.
Sebagai referensi, kami mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 183) menjelaskan supaya saksi yang diduga memberikan keterangan palsu dapat dihukum, ia harus mengetahui secara sadar bahwa telah memberikan suatu keterangan yang bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah.
Ketidakbenaran dari keterangan palsu tersebut harus diketahui oleh orang yang memberikan keterangan tersebut.[4]
Jika saksi menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan kata lain, saksi sebenarnya tidak mengetahui sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum. Mendiamkan atau menyembunyikan) kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki atau sengaja (hal. 183).