Apakah boleh memberikan hadiah atas dasar niat pribadi tanpa paksaan kepada hakim setelah hakim memberikan hasil keputusannya? Lebih tepatnya karena dia (hakim) telah memenangkan perkara saya.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Menurut Pasal 40 jo. Pasal 41UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ("UU Kekuasaan Kehakiman") hakim dalam menjalankan tugasnya diawasi oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Pengawasan terhadap perilaku hakim didasarkan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial (Pasal 41 ayat [3] UU Kekuasaan Kehakiman).
Untuk menjawab pertanyaan Saudara, kita perlu mengetahui Kode Etik Hakim mengenai menerima pemberian atau hadiah. Dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan PPH”) setiap hakim diharapkan dapat bersikap jujur dalam menjalankan tugasnya. Penerapan dari prinsip ini, antara lain dijabarkan dalam Kode Etik Hakim dan PPH butir 2.2 mengenai Pemberian Hadiah dan Sejenisnya sebagai berikut:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
(1) Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
a.Advokat;
b.Penuntut;
c.Orang yang sedang diadili;
d.Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;
e.Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
(2) Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak lain yang dibawah pengaruh, petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian, pinjaman atau bantuan apapun sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh hakim yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya dari:
a.Advokat;
b.Penuntut;
c.Orang yang sedang diadili oleh hakim tersebut;
d.Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili oleh hakim tersebut;
e.Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut diduga bertujuan untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, hakim tidak hanya dilarang menerima pemberian terhadap dirinya tetapi juga dilarang menyuruh pegawai pengadilan atau pihak lain termasuk keluarganya sendiri untuk menerima pemberian hadiah yang ditujukan terhadap hakim tersebut.
Pengecualian terhadap larangan ini hanya apabila pemberian tersebut tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000. Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Kode Etik dan PPH mewajibkan hakim yang nemerima gratifikasi untuk melaporkan secara tertulis ke Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”).
Menurut Kode Etik dan PPH, hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini diperiksa oleh Mahkamah Agung RI dan/atau Komisi Yudisial RI. Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI menyampaikan hasil putusan atas hasil pemeriksaan kepada Ketua Mahkamah Agung. Hakim yang diusulkan untuk dikenakan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian oleh Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI diberi kesempatan untuk membela diri di Majelis Kehormatan Hakim. Lebih jauh, simak juga artikel-artikel berikut:
Jadi, walaupun niat Saudara adalah sebagai bentuk terima kasih dan bukan untuk mempengaruhi putusan hakim, pemberian hadiah kepada hakim adalah termasuk bentuk gratifikasi. Hakim yang menerima gratifikasi bisa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhetian, juga terkena sanksi pidana. Ancaman pidana terhadap gratifikasi tidak hanya akan dikenakan pada hakim yang bersangkutan tetapi juga kepada Anda sebagai pemberi gratifikasi.