Saya mau bertanya mengenai kasus yang menimpa istri saya. Istri saya bekerja di perusahaan di mana dia didakwa oleh perusahaan melakukan kesalahan berat dan sedang menunggu putusan management untuk mendapatkan sanksi. Istri saya mempunyai beberapa anak buah di mana salah satu anak buahnya melakukan kesalahan yaitu mengajukan dana promosi dengan 2 kuitansi. Sebenarnya, dia hanya mengajukan 1 kuitansi saja (revisi atas kuitansi sebelumnya), sedangkan kuitansi yang lama itu dibatalkan dan tidak dilampirkan pada pengajuan dana ke perusahaan tersebut. Tetapi, ternyata kuitansi yang lama (yang seharusnya dibuang oleh sekretaris istri) ditemukan oleh pihak finance. Sehingga pengajuan dana tersebut melanggar aturan perusahaan. Istri saya dinyatakan bersalah dalam hal ini karena dia dianggap mengetahui dan memberikan instruksi perihal pengajuan dana tersebut yang dilakukan oleh anak buahnya.
Lalu, istri saya menyatakan minta di-PHK saja bilamana memang dia dianggap bersalah dan melakukan kesalahan berat. Yang ingin saya tanyakan:
Kesalahan yang dilakukan istri saya itu apakah memang disebut kesalahan berat meskipun sebenarnya kesalahaan tersebut dilakukan oleh anak buahnya? Apa konsekuensinya?
Kalau di-PHK, apakah istri saya mendapatkan hak pesangon, uang penghargaan kerja, uang penggantian hak sesuai Pasal 156 UU Ketenagakerjaan? Apa yang harus istri saya lakukan bilamana tidak puas dengan keputusan perusahaan?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Secara historis, aturan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat dulunya diatur oleh Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang telah dihapus oleh Pasal 81 angka 50 Perppu Cipta Kerja.
Namun, kini pengaturan dalam PP 35/2021 kembali mengatur aturan serupa, akan tetapi memakai istilah pekerja yang melakukan “pelanggaran bersifat mendesak”. Bagaimana bunyi pasalnya? Apa saja hak yang diterima pekerja yang di-PHK karena melakukan pelanggaran bersifat mendesak?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari dan Imam Hadi Wibowo yang dipublikasikan pertama kali pada 15 Oktober 2011, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Saufa Ata Taqiyya, S.H. pada 25 Juni 2021.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
PHK karena Pelanggaran Berat
Perlu diketahui bahwa secara historis terkait ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat dulunya diatur melalui Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tersebut melalui Putusan MK No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Oleh karena itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan SE Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005. SE Menakertrans ini menegaskan bahwa jika pengusaha hendak melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat, harus ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Sehingga, harus dibuktikan terlebih dulu kesalahannya melalui mekanisme peradilan pidana.
Dalam perkembangannya, ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah dihapus oleh Pasal 81 angka 50 Perppu Cipta Kerja.
Namun, kini pengaturan dalam PP 35/2021 kembali mengatur aturan serupa, akan tetapi memakai istilah pekerja yang melakukan “pelanggaran bersifat mendesak”. Adapun pengusaha dapat mem-PHK pekerja karena melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (“PP”), atau Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”),[1] misalnya dalam hal:[2]
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Perlu diperhatikan, jika pelanggaran tersebut terjadi, pengusaha dapat langsung mem-PHK pekerja,[3] dengan kata lain tidak perlu adanya putusan pengadilan. Akan tetapi, ketentuan mengenai pelanggaran tersebut harus diatur dalam Perjanjian Kerja, PP, atau PKB, sebagaimana yang kami sampaikan sebelumnya.
Sehingga menjawab pertanyaan Anda, untuk menentukan apakah perbuatan istri Anda dapat dikatakan sebagai pelanggaran berat atau yang saat ini disebut dengan pelanggaran bersifat mendesak, perlu dilihat kembali ketentuan dalam Perjanjian Kerja, PP atau PKB antara istri Anda dan perusahaan tersebut.
Hak Pekerja yang di-PHK dan Langkah Hukum
Apabila memang telah diatur sebagai pelanggaran yang bersifat mendesak, maka perusahaan bisa langsung melakukan PHK terhadap istri Anda. Jika terjadi PHK karena pekerja melakukan pelanggaran yang bersifat mendesak, maka ia berhak atas:[4]
uang penggantian hak sesuai Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021; dan
uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.
Sebagai informasi, uang penggantian hak tersebut meliputi:[5]
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; dan
hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, PP, atau PKB.
Apabila pekerja menolak PHK, maka penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.[6] Jika perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.[7]