KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Bercerai karena Pacar Suami Hamil

Share
Keluarga

Hukumnya Bercerai karena Pacar Suami Hamil

Hukumnya Bercerai karena Pacar Suami Hamil
Renie Aryandani, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Hukumnya Bercerai karena Pacar Suami Hamil

PERTANYAAN

Menginjak bulan ke-11 saya belajar di luar negeri, saya mendengar berita bahwa pacar suami saya telah tiga bulan hamil. Suami ingin mengajukan cerai agar dapat menikahi pacarnya tersebut. Surat kawin kami dan akta kelahiran dan KTP saya disimpan oleh orang tua saya, dan sampai sekarang suami saya belum datang secara baik-baik untuk mengambil surat-surat tersebut. Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan saya? Bagaimana status hukum anak mereka? Apa sanksinya jika mereka tetap menikah secara diam-diam?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Memang pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, terutama pada sidang perdamaian, baik suami ataupun istri harus datang secara pribadi. Meskipun keduanya dapat mewakilkan kepada kuasanya, namun untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan keduanya untuk hadir sendiri.

    Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan Anda? Jika yang dimaksudkan adalah Anda (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang dan juga tidak mewakili sama sekali kepada kuasanya, maka hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.

    Lantas, bagaimana status hukum anak luar kawin?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah PNS Dipecat karena Selingkuh?

    Bisakah PNS Dipecat karena Selingkuh?

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul perceraian & anak di luar nikah Si Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 03 September 2009, yang pertama kali dimutakhirkan oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada 22 Desember 2017.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Jika Tergugat Tidak Hadir dalam Sidang Cerai

    Pada prinsipnya, dalam proses sidang perceraian yang berlaku di Indonesia, kedua belah pihak (suami dan istri) harus hadir dalam persidangan agar dapat dilakukan usaha perdamaian di antara mereka.[1]

    Namun, suami atau istri diperbolehkan untuk tidak hadir dalam sidang perceraian dengan memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakili yang bersangkutan dalam sidang perceraian.[2]

    Namun jika Anda beragama Islam, maka ketentuan proses persidangan cerainya mengacu pada UU 7/1989. Adapun Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU 7/1989 mengatur:

    1. Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
    2. Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
    3. Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
    4. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

    Masih berkaitan dengan kehadiran suami istri dalam persidangan, dalam hal suami istri mewakilkan kepada kuasanya, untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.[3]

    Jadi, dapat kita ketahui bahwa memang pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, terutama pada sidang perdamaian, baik suami ataupun istri harus datang secara pribadi. Meskipun keduanya dapat mewakilkan kepada kuasanya, namun untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan keduanya untuk hadir sendiri.

    Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan Anda? Jika yang dimaksudkan adalah Anda (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang dan juga tidak mewakili sama sekali kepada kuasanya, maka berdasarkan Pasal 125 HIR hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.

    Berikut ini bunyi Pasal 125 HIR sebagai berikut:

    Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.

    Disarikan dari artikel Putusan Verstek Jika Salah Satu Tergugat Tidak Hadir secara sederhana, putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim jika tergugat/para tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk hadir/menghadap meskipun sudah dipanggil secara patut.

     

    Alasan-alasan Perceraian

    Untuk mengajukan perceraian, harus mempunyai cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan penjelasannya serta Pasal 19 PP 9/1975 sebagai berikut:

    1. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan;
    2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
    6.  Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

     

    Bagaimana Status Hukum Anak dari Pacar Suami?

    Setidaknya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kekasih suami Anda yang merupakan orang ketiga dalam hubungan pernikahan melahirkan sebelum menikah atau melahirkan setelah menikah.

    Pertama, jika orang ketiga tersebut melahirkan anaknya sebelum melangsungkan perkawinan, maka secara hukum, anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.[4]

    Kedua adalah melangsungkan perkawinan saat sedang hamil. Menurut hukum, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.[5] Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.[6] Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Anak yang terlahir dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah dari keduanya.[7]

    Baca juga: Kepergok Selingkuh, Bisakah Dipidana?

     

    Akibat Hukum Pernikahan Diam-Diam

    Kami berasumsi yang Anda maksudkan dengan menikah diam-diam adalah suami Anda belum bercerai dengan Anda, tetapi menikah diam-diam dengan kekasihnya yang mana merupakan orang ketiga. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Akan tetapi, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[8]

    Apabila suami tersebut akan menikah lagi dengan orang ketiga tersebut, adapun yang menjadi persyaratan adalah:

    1. Suami tersebut harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya;[9]
    2. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan, seorang suami harus memperoleh persetujuan dari istri, suami dapat memastikan bahwa ia dapat menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak, serta menjamin bahwa ia sebagai suami dapat berlaku adil;[10]
    3. Pengadilan hanya memberikan izin apabila:[11]
    1. istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri;
    2. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
    3. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

    Dengan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami apabila akan menikah lagi, maka hal tersebut haruslah dilakukan atas persetujuan dari istri. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi dan ternyata suami Anda melakukan perkawinan secara diam-diam dan tanpa persetujuan dari Anda sebagai istri pertama, maka perkawinan yang mereka lakukan tidak mempunyai kekuatan hukum.[12] Oleh karena itu, Anda sebagai istri pertama dapat meminta untuk dilakukannya pembatalan perkawinan.[13]

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Herzien Inlandsch Reglement;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
    3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undag Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Putusan:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.


    [1] Pasal 130 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”)

    [2] Pasal 30 PP 9/1975

    [3] Pasal 142 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)

    [4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

    [5] Pasal 53 ayat (1)KHI

    [6] Pasal 53 ayat (2) KHI

    [7] Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

    [8] Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan

    [9] Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 56 ayat (1) KHI

    [10] Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan

    [11] Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan

    [12] Pasal 56 ayat (3) KHI

    [13] Pasal 71 huruf a KHI

    Tags

    anak luar kawin
    perceraian

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Hal-hal yang Harus Disiapkan Jika Pindah KPR Bank

    6 Mei 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    dot
    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda di sini!