Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Wajibkah Putusan Pengadilan Dipublikasikan Beserta Data Pribadinya?

Share
Perdata

Wajibkah Putusan Pengadilan Dipublikasikan Beserta Data Pribadinya?

Wajibkah Putusan Pengadilan Dipublikasikan Beserta Data Pribadinya?
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol

Bacaan 13 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya penasaran, karena kasus baru-baru ini putusan cerai salah satu influencer banyak ditampilkan isinya. Sehingga publik mengetahui penyebab perceraian mereka, yang notabene cukup privasi. Meskipun nama sudah disensor (jadi tergugat dan penggugat saja, termasuk nama anak juga tidak dipublikasikan), apakah memang semua putusan pengadilan wajib dipublikasikan di web MA yang bisa diakses oleh masyarakat umum secara mudah? Selain putusan cerai, saya juga sering lihat ada putusan pengadilan yang menunjukkan data pribadi para pihak, misalnya nama lengkap dan alamat lengkap di dalam putusan. Pasca UU PDP disahkan, apakah lembaga peradilan boleh menampilkan data pribadi secara lengkap dalam putusan?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Pada prinsipnya, semua putusan pengadilan wajib dipublikasikan dalam rangka memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Publikasi tersebut berupa pengucapan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum serta pemberian akses kepada masyarakat atas putusan pengadilan, baik secara daring maupun secara luring.

    Lantas, haruskah putusan pengadilan dipublikasikan beserta data pribadi para pihak yang berperkara?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Kewajiban Memublikasikan Putusan Pengadilan

    Semua putusan pengadilan pada prinsipnya hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini berkaitan dengan asas fair trial, yang bertujuan untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela dari pejabat pengadilan.[1]

    Kewajiban putusan diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum tersebut diatur di dalam Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

    1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
    2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
    3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Lantas, haruskah semua putusan pengadilan dipublikasikan? Kami mengasumsikan bahwa publikasi yang Anda maksud adalah pengumuman, penerbitan.

    Selain pengucapan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum, dalam UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA dan perubahannya, serta UU MK dan perubahannya, diatur bahwa pengadilan juga wajib memberikan akses kepada masyarakat atas putusan pengadilan dan memberikan salinan putusan pengadilan kepada masing-masing pihak.

    Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan. Selain itu, pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    Lebih lanjut, dalam Pasal 32B UU 3/2009 dan Penjelasannya juga mengatur bahwa Mahkamah Agung (“MA”) harus memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai putusan MA. Akses kepada masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan putusan MA diberikan melalui Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (SIMARI).

    Begitu pula Pasal 14 UU MK mengatur bahwa masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”).

    Selain itu, pengadilan sebagai badan publik juga tunduk terhadap ketentuan dalam UU KIP. Dalam Bab IV UU KIP, informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

    1. informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala;
    2. informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; dan
    3. informasi yang wajib tersedia setiap saat.

    Berdasarkan kategori informasi publik tersebut, putusan dan penetapan pengadilan tergolong sebagai informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik.[2] Sehingga, menurut Pasal 11 ayat (1) huruf b UU KIP badan publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat, salah satunya adalah hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya.

    Hal ini juga ditegaskan kembali dalam Lampiran I SK KMA 1-144/2011 bahwa pengadilan wajib mengelola dan memelihara jenis-jenis informasi untuk memastikan bahwa informasi tersebut tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat setiap saat, salah satunya adalah seluruh putusan dan penetapan pengadilan, baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang belum berkekuatan hukum tetap dalam bentuk fotokopi atau naskah elektronik, bukan salinan resmi (hal. 3 – 4).

    Dalam konteks putusan MA dan peradilan di bawahnya, berlaku pula ketentuan di dalam Perma 1/2019 dan perubahannya yaitu Perma 7/2022. Berdasarkan Pasal 26 ayat (7) Perma 7/2022, pada hari yang sama dengan pengucapan putusan, pengadilan memublikasikan putusan/penetapan untuk umum pada SIP.

    SIP adalah Sistem Informasi Pengadilan yaitu seluruh sistem informasi yang disediakan oleh MA untuk memberi pelayanan terhadap pencari keadilan yang meliputi administrasi, pelayanan perkara, dan persidangan secara elektronik.[3]

    Berdasarkan uraian di atas, pada prinsipnya semua putusan pengadilan wajib dipublikasikan dalam rangka memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Publikasi tersebut berupa pengucapan putusan dalam sidang yang terbuka untuk umum serta pemberian akses kepada masyarakat atas putusan pengadilan, baik secara daring (melalui SIP) maupun secara luring.

    Informasi yang Dikecualikan

    Akan tetapi, terdapat jenis informasi publik (salah satunya putusan pengadilan) yang dikecualikan untuk dipublikasikan apabila memenuhi kriteria Pasal 17 UU KIP, yaitu jika informasi publik tersebut:

    1. Apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum.
    2. Apabila dibuka dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan persaingan usaha tidak sehat.
    3. Apabila dibuka dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara.
    4. Apabila dibuka dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia.
    5. Apabila dibuka dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional.
    6. Apabila dibuka dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri.
    7. Apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta autentik yang bersifat pribadi dan terakhir ataupun wasiat seseorang.
    8. Apabila dibuka dapat mengungkapkan rahasia pribadi yaitu berupa riwayat dan kondisi anggota keluarga; riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang; kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan non-formal.
    9. Berupa memorandum atau surat-surat antara badan publik atau intra badan publik yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan komisi informasi atau pengadilan.
    10. Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-undang.

    Lantas, haruskah putusan pengadilan yang dipublikasikan memuat data pribadi para pihak yang berperkara?

    Aturan Pelindungan Data Pribadi

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami bahwa dalam setiap putusan pengadilan dicantumkan data pribadi para pihak, misalnya nama, tempat tanggal lahir, agama, pekerjaan, dan tempat tinggal. Akan tetapi, pasca diundangkannya UU PDP, maka perlu diperhatikan kembali ketentuan mengenai publikasi data pribadi yang dilakukan oleh badan publik.

    Selengkapnya mengenai pengertian dan jenis-jenis data pribadi dapat Anda simak dalam artikel UU PDP: Landasan Hukum Pelindungan Data Pribadi.

    Lantas, apakah lembaga yudikatif seperti MA dan MK tunduk pada UU PDP? Badan publik seperti lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri, sepanjang melakukan kendali pemrosesan data pribadi tergolong sebagai pengendali data pribadi.[4]

    Adapun bentuk-bentuk pemrosesan data pribadi adalah:[5]

    1. pemerolehan dan pengumpulan;
    2. pengolahan dan penganalisisan;
    3. penyimpanan;
    4. perbaikan dan pembaruan;
    5. penampilan, pengumuman, transfer, penyebarluasan, atau pengungkapan; dan/atau
    6. penghapusan atau pemusnahan.

    Dengan demikian, dapat kami sampaikan bahwa pada dasarnya pengadilan sebagai suatu badan publik, dalam memublikasikan putusan yang berisi data pribadi para pihak tergolong sebagai pemrosesan data pribadi dalam bentuk penampilan yaitu memperlihatkan data pribadi untuk tujuan tertentu dan pihak pihak tertentu serta pengumuman yaitu pemberitahuan sebuah informasi yang ditujukan kepada orang banyak yang bersifat umum.[6]

    Untuk dapat melakukan pemrosesan data pribadi, pengendali data pribadi wajib memiliki dasar pemrosesan data pribadi yang meliputi:[7]

    1. persetujuan yang sah secara eksplisit dari subjek data pribadi untuk satu atau beberapa tujuan tertentu yang telah disampaikan oleh pengendali data pribadi kepada subjek data pribadi;
    2. pemenuhan kewajiban perjanjian dalam hal subjek data pribadi merupakan salah satu pihak atau untuk memenuhi permintaan subjek data pribadi pada saat akan melakukan perjanjian;
    3. pemenuhan kewajiban hukum dari pengendali data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    4. pemenuhan pelindungan kepentingan vital subjek data pribadi;
    5. pelaksanaan tugas dalam rangka kepentingan umum, pelayanan publik, atau pelaksanaan kewenangan pengendali data pribadi berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    6. pemenuhan kepentingan yang sah lainnya dengan memperhatikan tujuan, kebutuhan, dan keseimbangan kepentingan pengendali data pribadi dan hak subjek data pribadi.

    Lantas, apakah lembaga yudikatif yaitu MA dan peradilan di bawahnya serta MK boleh memublikasikan putusannya yang memuat data pribadi para pihak?

    Wajibkah Putusan Pengadilan Dipublikasikan Beserta Data Pribadinya?

    Menurut Danny Kobrata, S.H. praktisi pelindungan data pribadi dari K&K Advocates sekaligus co-founder APPDI menjelaskan bahwa dalam konteks lembaga peradilan dalam melakukan pemrosesan data pribadi yaitu untuk melakukan penampilan dan pengumuman harus memiliki dasar pemrosesan. Terkait dengan pengumuman putusan ke publik, pengendali yang merupakan lembaga yudikatif dapat menggunakan dasar pemrosesan pelaksanaan tugas dalam rangka kepentingan umum, pelayanan publik, atau pelaksanaan kewenangan pengendali data pribadi berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    Lebih lanjut, Danny menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan terdapat kewajiban dan juga kewenangan bagi pengadilan untuk memberikan akses kepada masyarakat terhadap putusan pengadilan. Apalagi di dalam peradilan di lingkungan MA, terdapat amanat peraturan perundang-undangan untuk memublikasikan putusan melalui sistem informasi pengadilan, dalam bentuk fotokopi atau naskah elektronik.

    Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian dalam publikasi putusan yang mencantumkan data pribadi para pihak. Menurut SK KMA 1-144/2011 (hal. 14 – 15) dijelaskan bahwa sebelum memberikan salinan informasi atau memasukkannya ke dalam situs, petugas informasi wajib:

    1. Mengaburkan nomor perkara dan identitas saksi korban dalam perkara-perkara:
    • Tindak pidana kesusilaan;
    • Tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga;
    • Tindak pidana yang menurut undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban, identitas saksi dan korbannya harus dilindungi;
    • Tindak pidana lain yang menurut hukum persidangannya dilakukan secara tertutup.
    1. Mengaburkan nomor perkara, identitas para pihak yang berperkara, saksi dan pihak terkait dalam perkara-perkara:
    • Perkawinan dan perkara lain yang timbul akibat sengketa perkawinan;
    • Pengangkatan anak;
    • Wasiat; dan
    • Perdata, perdata agama dan tata usaha negara yang menurut hukum persidangannya dilakukan secara tertutup.
    1. Mengaburkan nomor perkara dan identitas korban, terdakwa atau terpidana dalam perkara tindak pidana anak.

     

    Adapun informasi yang harus dikaburkan berkaitan dengan identitas pihak-pihak yang dimaksud di atas, meliputi (hal. 15)

    1. Nama dan nama alias;
    2. Pekerjaan, tempat bekerja dan identitas kepegawaian yang bersangkutan; serta
    3. Sekolah atau lembaga pendidikan yang diikuti.

    Adapun identitas saksi ahli dan kuasa hukum para pihak, jika ada, tidak perlu dikaburkan (hal. 15).

    Pengaburan dilakukan dengan cara (hal. 15):

    1. Menghitamkan informasi yang dimaksud dengan spidol hingga tidak dapat terbaca, dalam hal pengaburan dilakukan terhadap naskah cetak (hardcopy); atau
    2. Mengganti informasi yang dimaksud dengan istilah lain dalam naskah elektronik (softcopy).

    Kami berpendapat bahwa SK KMA 1-144/2011 tersebut bersifat mengatur, sehingga dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 UU 12/2011. Hal ini karena SK KMA 1-144/2011 mulai berlaku sejak tanggal 5 Januari 2011, sebelum UU 12/2011 diundangkan dan berlaku pada 12 Agustus 2011.[8]

    Oleh karena itu, menurut hemat kami, selain dalam kondisi-kondisi yang disebutkan dalam SK KMA di atas, putusan harus dapat diakses oleh masyarakat dan tetap mencantumkan data pribadi para pihak sesuai dengan ketentuan format putusan pengadilan. Hal ini untuk pemenuhan tugas publik pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Contohnya dalam perkara perdata umum kasasi MA, data pribadi para pihak yang dimasukkan ke dalam putusan adalah nama perorangan/badan hukum, nama kuasa, kantor advokat dan alamatnya.[9] Sementara dalam kasus pidana, putusan kasasi MA memuat data pribadi terdakwa berupa nama, tempat tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.[10]

    Akan tetapi, menurut Danny, publikasi putusan pengadilan memiliki dampak yang cukup besar bagi privasi seseorang, sehingga memang perlu dilakukan penilaian dampak oleh lembaga peradilan selaku pengendali data pribadi. Apa dampaknya terhadap subjek data pribadi, apakah harus semua dipublikasikan, dan apa yang bisa untuk tidak ditampilkan dalam putusan. Tujuannya supaya terjadi keseimbangan antara perlindungan atas privasi dari pihak-pihak yang identitasnya disebut di dalam putusan pengadilan dan pelaksanaan pelayanan publik serta pelaksanaan kewenangan lembaga peradilan. 

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
    2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang dan diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
    3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;
    4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
    5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
    6. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi;
    7. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2017 tentang Format (Template) dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Mahkamah Agung;
    8. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik sebagaimana diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik;
    9. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan.

    Referensi:

    1. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika;
    2. Publikasi, yang diakses pada Rabu, 8 Mei 2024 pukul 20.01 WIB.

    Catatan:

    Kami telah melakukan wawancara dengan Danny Kobrata, S.H. praktisi pelindungan data pribadi dari K&K Advocates sekaligus co-founder APPDI melalui WhatsApp pada Selasa 7 Mei 2024 pukul 14.44 WIB dan Senin 13 Mei 2024 pukul 10.19 WIB.


    [1] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 894

    [2] Lampiran I Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan hal. 3 – 4

    [3] Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik

    [4] Pasal 1 angka 4 dan angka 9 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (“UU PDP”)

    [5] Pasal 16 ayat (1) UU PDP

    [6] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU PDP

    [7] Pasal 20 UU PDP

    [8] Lihat Pasal 104 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

    [9] Lampiran II Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2017 tentang Format (Template) dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Mahkamah Agung (“Perma 9/2017”) hal. 4

    [10] Lampiran I Perma 9/2017 hal. 1

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?