Upaya Hukum Jika Hakim Menolak Surat Dakwaan
Bacaan 10 Menit
PERTANYAAN
Bagaimana upaya hukum apabila surat dakwaan ditolak oleh pengadilan?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 10 Menit
Bagaimana upaya hukum apabila surat dakwaan ditolak oleh pengadilan?
Terima kasih atas pertanyaan anda. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak memberikan definisi atau pengertian tentang Surat Dakwaan. A. Karim Nasution, dalam bukunya Masalah Surat Dakwaan Dalam Proses Pidana (hal 75) telah memberikan definisi Surat Dakwaan yang sangat komprehensif yaitu, “suatu surat atau akte yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup bukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.”
Mencermati pertanyaan anda, sejauh ini kami berasumsi bahwa maksud pertanyaan anda adalah penolakan surat dakwaan dalam arti formil, yang berarti belum menyentuh pembuktian dan pemeriksaan pokok perkaranya. Sebagai informasi untuk anda, dasar hukum bagi hakim untuk “menolak” suatu dakwaan sebagaimana yang anda tanyakan, dimuat dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yang selengkapnya akan kami kutip sebagai berikut:
“Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”
Dalam Pendidikan Calon Hakim Peradilan Umum yang diselenggarakan Mahkamah Agung pada tanggal 25 Juli 2007, Ramelan, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus memberikan penjelasan yang sangat baik atas ketiga kemungkinan putusan atas adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukumnya terhadap suatu dakwaan, yang kami kutip intisarinya sebagai berikut:
1. Pengadilan Tidak Berwenang Mengadili Perkara: berhubungan dengan kompetensi absolut dan kompetensi relatif dari suatu pengadilan.
2. Dakwaan tidak dapat diterima: perbuatan bukan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran), Ne bis in idem (Pasal 76 KUHP), Kadaluwarsa (Pasal 78 KUHP), Perbuatan yang didakwakan tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, Delik Aduan yang dicabut atau orang yang berhak mengadu tidak menggunakan haknya.
3. Surat Dakwaan Batal Demi Hukum: tidak menyebut tempus dan locus delicti, surat dakwaan tidak jelas/kabur (obscuur libel), uraian perbuatan dalam rumusan surat dakwaan saling bertentangan antara pasal satu dengan pasal yang lain (Biasanya dihubungkan dengan Pasal 143 ayat (2) dan (3) KUHAP).
Menjawab pertanyaan anda, sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (3) KUHAP, maka upaya hukum yang dapat diajukan oleh penuntut umum apabila surat dakwaannya “ditolak” oleh hakim adalah perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana perkara tersebut diperiksa (bukan upaya hukum banding).
Sebagai referensi untuk anda, kami akan mengutip pandangan dari mantan Hakim Agung Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) (hal. 456-457), yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun sama-sama di periksa di Pengadilan Tinggi, antara perlawanan (verzet) dan banding memiliki beberapa perbedaan pokok, yaitu:
1. Upaya perlawanan bersifat insidentil: perlawanan bukan upaya hukum biasa karena disediakan oleh Undang-Undang dalam hal-hal tertentu.
2. Upaya perlawanan tidak ditujukan terhadap putusan akhir.
3. Proses pemeriksaan perlawanan sangat sederhana jika dibandingkan dengan pemeriksaan perkara di tingkat banding.
4. Perlawanan yang dapat diajukan terhadap putusan atau penetapan pengadilan negeri disebut satu-persatu dalam pasal yang bersangkutan:
a. Perlawanan tersangka terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat 2 KUHAP).
b. Perlawanan Penuntut Umum atas penetapan pengadilan negeri tentang tidak berwenang mengadili (Pasal 154 ayat 1 KUHAP)
c. Perlawanan terhadap putusan eksepsi sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP.
Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk anda.
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
1. A. Karim Nasution. Masalah Surat Dakwaan Dalam Proses Pidana. Percetakan Negara RI: 1982.
2. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika: 2002.
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?