Tentang Overmacht dan Hukum Pidana sebagai Ultimum Remidium
Bacaan 17 Menit
PERTANYAAN
1. Mengapa ada paksaan dalam Hukum Pidana? 2. Mengapa Hukum Pidana disebut sebagai Ultimum Remidium?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 17 Menit
1. Mengapa ada paksaan dalam Hukum Pidana? 2. Mengapa Hukum Pidana disebut sebagai Ultimum Remidium?
Intisari:
Keberadaan paksaan atau yang dikenal dengan istilah overmacht penting karena menentukan dan menjadi dasar peniadaan/penghapusan hukuman. Overmacht merupakan hal yang datangnya dari luar, mempengaruhi seseorang yang mengalaminya sehingga orang tersebut tidak memiliki opsi lain untuk membela dirinya.
Sedangkan, hukum pidana dikatakan sebagai ultimum remidium karena sanksi pidana ditempatkan sebagai sanksi paling akhir dibandingkan sanksi–sanksi yang lain dalam penegakan hukum. Apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui, baru kemudian dipilih hukum pidana sebagai alat terakhir.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berikut adalah jawaban kami:
1. Istilah paksaan yang Anda maksud juga populer dengan istilah overmacht. Overmacht diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yakni Pasal 48 KUHP yang berbunyi:
“Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.”
Berdasarkan pasal tersebut, overmacht menjadi dasar peniadaan/penghapusan hukuman. Dalam KUHP dan undang-undang lain tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai overmacht ini, penelaahan mengenai istilah overmacht kita dapatkan dari pemikiran para pakar hukum.
Saudari Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dalam artikel kliniknya Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana pernah menjelaskan mengenai hal ini. Tri Jata Ayu mengutip penjelasan pakar hukum R. Sugandhi, S.H. yang mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang.
Masih bersumber dari artikel yang sama, keadaan memaksa atau overmacht dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
a. yang bersifat mutlak
Dalam hal ini, orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia elakkan. Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. Orang kuat inilah yang berbuat dan yang harus dihukum.
b. yang bersifat relatif
Dalam hal ini, kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. Perbedaan kekuasaan bersifat mutlak dan kekuasaan bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 63) mengatakan bahwa paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini.
c. yang merupakan suatu keadaaan darurat
Pada keadaan darurat ini orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan, sedang pada kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih. Dalam hal ini (kekuasaan yang bersifat relatif - red), orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa.
Sedangkan, menurut Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 48 KUHP tersebut, overmacht disebut sebagai suatu yang datang dari luar dan membuat perbuatan menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan telah dirumuskan sebagai kekuatan yang datang bukan dari diri sendiri. Setiap paksaan, setiap tekanan dimana terhadap kekuatan, paksaan atau tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan.
Dari pendapat R. Sugandhi dan penjelasan MvT di atas dapat kita simpulkan bahwa paksaan (overmacht) yang Anda maksud merupakan hal-hal yang datangnya dari luar, mempengaruhi seseorang yang mengalaminya sehingga orang tersebut tidak memiliki opsi lain untuk membela dirinya. Hal ini, jika telah dipertimbangkan dari segala sisi, dapat menjadi dasar peniadaan hukuman.
2. Ultimum remedium dalam hukum pidana memiliki arti bahwa sanksi pidana ditempatkan sebagai sanksi paling akhir dibandingkan sanksi–sanksi yang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa jika terjadi suatu pelanggaran hukum, maka ada langkah atau tingkatan yang dapat diberikan sebagai sanksi sebelum sanksi pidana diberikan. Hal ini memiliki makna bahwa apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui, baru kemudian dipilih hukum pidana sebagai alat terakhir.
Penjelasan lebih lanjut tentang ultimum remedium dapat Anda simak dalam artikel Arti Ultimum Remedium.
Sebagai contoh, dalam suatu perundang-undangan terdapat urutan sanksi seperti yang dapat kita lihat dalam artikel Klinik Hukumonline yang ditulis oleh Saudari Shanti Rachmadsyah,S.H., yang berjudul Sanksi Hukum (Pidana, Perdata, dan Administratif), yaitu:
a. Sanksi Administrasi
· Teguran
· Denda
· Pembekuan izin
· Pencabutan izin
b. Sanksi Perdata
· Sanksi pemenuhan prestasi (kewajiban)
· Hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru
c. Sanksi Pidana
· hukuman pokok yang berupa:
i. hukuman mati
ii. hukuman penjara
iii. hukuman kurungan
iv. hukuman denda
· hukuman tambahan:
i. pencabutan beberapa hak yang tertentu
ii. perampasan barang yang tertentu
iii. pengumuman keputusan hakim
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor;
R. Sugandhi. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Usaha Nasional: Surabaya.
KLINIK TERBARU
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?