Siapa pihak berwenang yang menilai berapa besar kerugian negara dalam kasus korupsi? Apakah hakim bisa berpendapat sendiri terhadap nilai kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor)?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Penghitungan nilai kerugian keuangan negara adalah hal yang kompleks dan problematik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi (tipikor), terlebih lagi dalam hal menentukan lembaga mana yang berwenang untuk menetapkan nilai kerugian keuangan negara tersebut.
Praktiknya, justru berujung adanya perbedaan nilai kerugian keuangan negara yang dijadikan acuan oleh penuntut umum dengan yang diputus oleh hakim. Bagaimana bunyi pasal dan dasar hukum yang mengatur perihal ini?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pihak yang Berwenang Menilai Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi yang dibuat oleh Alfin Sulaiman, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 27 September 2016.
Secara sederhana dalam Pasal 1 angka 22 UU 1/2004mendefinisikan kerugian negara/daerah sebagai kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Lebih lanjut, penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Terkait dengan itu, ada berbagai regulasi yang dapat dijadikan rujukan dalam menilai wewenang suatu lembaga tertentu untuk melakukan penghitungan dan/atau penetapan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor), yaitu:
Aspek
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Status Hukum Kelembagaan Negara
Lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[1]
Aparat pengawasan intern pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.[2]
Lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[3]
Lingkup Wewenang
Menghitung, menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara sebagai pengejawantahan langsung dari UUD 1945.
Limitatif apabila memperoleh mandat dari BPK dan terbatas pada menghitung kerugian keuangan negara.
KPKbukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tipikor, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPK dan BPKP.
Kewenangan BPK
Pasal 10 ayat (1) UU BPK secara tegas mengatur bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Bahwa dalam rangka menilai kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian tersebut ditetapkan dengan keputusan BPK.[4]
Implementasi dari wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara tersebut juga diatur lebih lanjut ke dalam Pasal 11 UU BPK yang pada pokoknya menjabarkan mengenai wewenang BPK untuk memberikan pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah dan/atau memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Bahwa selaras dengan kualifikasi BPKP sebagai aparat pengawasan intern pemerintah, secara khusus dalam Pasal 48 s.d. Pasal 50 PP 60/2008 dijabarkan mengenai:
Pengawasan intern oleh aparat pengawasan intern pemerintah yang mencakup:
audit;
reviu;
evaluasi;
pemantauan; dan
kegiatan pengawasan lainnya.
Audit terdiri atas:
Audit kinerja merupakan audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas.
Audit dengan tujuan tertentu antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan.
Bahwa kemudian Pasal 3 huruf e Perpres 20/2023mengatur penyelenggaraan fungsi oleh BPKP dalam hal pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi.
Seluruh wewenang BPKP sebagai aparat pengawasan intern tersebut di atas tidak dapat serta merta direalisasikan, karena sejatinya BPKP harus terlebih dahulu menerima mandat dari BPK untuk melakukan penghitungan dan/atau penilaian kerugian keuangan negara, sebagaimana penegasan yang diatur dalamPeraturan BPK 3/2022.
Bahwa kualifikasi tersebut diperjelas melalui Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) Peraturan BPK 3/2022 yang menyatakanBPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, meliputi:
pemeriksa dari aparat pengawasan intern;
pemeriksa dari KAP yang terdiri atas akuntan publik dan TKPP.
Kemudian dalam Pasal 7Peraturan BPK 3/2022 dijelaskan mengenai pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa yang dapat berupa pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan BPK 3/2022 bahwa BPK dapat menggunakan pemeriksa dari aparat pengawasan intern. Penggunaan pemeriksa dari aparat pengawasan intern dilakukan berdasarkan kesepakatan antara BPK dan aparat pengawasan intern.
Kewenangan KPK
Bahwa pada dasarnya tugas dan wewenang KPK dalam rangka pemberantasan korupsi didasari oleh aturan yuridis Pasal 6 huruf b UU 19/2019, yang secara khusus mengamanatkan dilakukannya koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik.
Kemudian bagian penjelasan dari UU KPKtersebut memperluas makna dari “instansi yang berwenang” termasuk BPK, BPKP, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.
Hal tersebut kemudian ditekankan kembali sebagaimana pertimbanganPutusan MK No. 31/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya (hal. 53).
Siapa yang Berwenang Menyatakan Kerugian Keuangan Negara?
Pada praktiknya pengadilan menjadi muara terakhir dari penanganan dan penyelesaian perkara tipikor, mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri), kasasi bahkan melalui peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Fakta yang tak terelakkan adalah mengenai perbedaan pandangan dan/atau penafsiran terhadap lembaga yang berwenang untuk menetapkan nilai kerugian keuangan negara tersebut dan lebih khusus lagi perbedaan terkait nilai penghitungan kerugian keuangan negara.
Bahwa dalam perkembangannya diatur lebih lanjut melalui poin ke-6 SEMA 4/2016, yang menegaskan sebagai berikut:
Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentuHakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.
Dengan diterbitkannya SEMA 4/2016 ini tentu menjadi legitimasi penting yang memberikan kepastian hukum terhadap wewenang untuk menyatakan (declare) ada tidaknya kerugian keuangan negara oleh BPK dan secara tidak langsung menunjukkan esensi penting keyakinan hakim yang didasari oleh fakta persidangan dalam memutus dan mengadili perkara.