Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jum’at, 25 Mei 2012.
Definisi Saksi
Istilah saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan:
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Definisi Saksi Mahkota
Perlu diketahui bahwa saksi mahkota memiliki perbedaan dengan saksi dalam definisi di atas. Mengenai definisi saksi mahkota sendiri, kami mengutip alasan pemohon kasasi (kejaksaan) dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa:
Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Prof. Dr. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.
Dalam KUHAP tidak terdapat istilah saksi mahkota, namun sejak sebelum berlakunya KUHAP, istilah saksi mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti, namun dalam Berita Acara Pemeriksaan istilah tersebut tidak pernah dicantumkan.
Dalam Praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim.
Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri sesuai ketentuan pasal 189 (3) KUHP, oleh karena itu dengan berpedoman pada pasal 142 KUHP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti. Sebagai contoh, misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990, menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian (Gesplits).
Satu-satunya putusan Pengadilan yang menolak saksi Mahkota sebagai alat bukti adalah Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan MARSINAH, yang menyatakan “saksi Mahkota bertentangan dengan hukum" (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994, 381 K/Pid/1994, 1592 K/Pid 1994 dan 1706 K/Pid/1994).
Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan terhadap Marsinah tersebut sebagai dasar putusannya, maka dalam menggunakan saksi mahkota, supaya sedapat mungkin diupayakan juga tambahan alat bukti lain.
Saksi Mahkota dalam Praktik
Akan tetapi penggunaan saksi mahkota ini juga mendapat pertentangan dari beberapa kalangan, salah satunya datang dari mantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto dalam bukunya “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar” (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum.
Mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo. Nomor 1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Menjawab pertanyaan Anda, sebagai kesimpulan, saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana. Walaupun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, tapi dalam praktiknya memang sering dijumpai adanya saksi mahkota untuk pembuktian pada perkara pidana.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994;
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592 K/Pid/1994;
Referensi:
Adi Andojo Soetjipto. Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar. Jakarta: Granit, 2008.