Berdasarkan teori perundang-undangan, sebuah peraturan perundang-undangan hanya dapat dibatalkan oleh peraturan perundang-undangan yang setingkat atau yang lebih tinggi atau melalui putusan pengadilan. Pertanyaannya adalah apabila terjadi penolakan terhadap Perppu, bentuk hukum apa yang akan dipakai untuk membatalkan Perppu tersebut?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Produk hukum yang dipakai untuk mencabut dan menyatakan tidak berlakunya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”) yang tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan Perppu, yaitu undang-undang.
Penjelasan lebih lanjut dan contohnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Prosedur Penolakan dan PencabutanPerpu yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 21 Oktober 2013.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel-artikel di atas, Maria Farida Indrati Soeprapto dalam buku Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, mengatakan bahwa Perppu jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), yaitu pada masa persidangan berikutnya (hal. 94).
ApabilaPerppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan undang-undang. Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui (ditolak) oleh DPR, akan dicabut (hal. 94).
DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.
Perlu Anda ketahui, proses pembahasan Perppu untuk disetujui atau ditolak, dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna.[1] Nantinya, DPR-lah yang menentukan persetujuan atau penolakan suatu Perppu tersebut melalui keputusan rapat paripurna.
Dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna (ditolak), maka sebagai tindak lanjut atas Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak Perppu yang bersangkutan, Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[2]
Kami sekaligus meluruskan istilah ‘membatalkan’ yang Anda gunakan, karena mengacu pada Pasal 52 ayat (5) UU 12/2011, maka istilah yang tepat untuk digunakan adalah ‘mencabut dan menyatakan tidak berlaku’.
Produk Hukum yang Mencabut Perppu
Lalu, produk hukum apa yang dipakai sebagai bentuk penolakan atau pencabutan suatu Perppu itu? Untuk menjawabnya, kita berpedoman pada Pasal 52 ayat (6) dan ayat (7) UU 12/2011 yang berbunyi:
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dari ketentuan di atas, dapat kita ketahui bahwa secara hukum, DPR atau presidenlah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang ("RUU") tentang pencabutan Perppu.
RUU yang diajukan itu juga mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu.
Kemudian, presiden mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu 4/2009. RUU tersebut disahkan dengan diterbitkannya UU 3/2010 yang mencabut dan menyatakan Perppu 4/2009 tidak berlaku.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, produk hukum yang dipakai untuk mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Perppu yang ditolak oleh DPR adalah peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan Perppu, yaitu undang-undang.
Presiden atau DPR-lah yang mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu yang ditolak oleh DPR itu.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Referensi:
Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta, 1998.