Apakah pengesahan UU yang tidak urgent di tengah pandemi COVID-19 ini diperbolehkan? Seperti UU Minerba terbaru atau rencana pengesahan RUU lainnya, seperti RUU HIP atau Cipta Kerja. Padahal masyarakat sedang mengalami permasalahan yang nyata karena terkena dampak pandemi ini, sehingga pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan untuk menanggulangi ini. Apakah ada cacat hukum tentang pengesahan UU seperti ini yang bisa digunakan masyarakat untuk meminta pembatalan?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Perlu digarisbawahi bahwa salah satu muatan undang-undang adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.
Hal ini relevan dengan kondisi sekarang, karena pembentukan undang-undang harus mengedepankan penanganan pandemi COVID-19. Mengenai beberapa undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat yang kemudian disahkan selama pandemi merupakan hal yang kurang tepat, apalagi undang-undang tersebut dianggap cacat formil, karena tidak melibatkan partisipasi publik.
Atas pengesahan undang-undang yang demikian, dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi pada pembatalan sebagian pasal atau keseluruhan undang-undang tersebut.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Perencanaan penyusunan undang-undang dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) yang menjadi blueprint program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas terbagi menjadi dua, yakni Prioritas Jangka Menengah yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun dan Prolegnas Prioritas Tahunan.[1]
Penyusunan
Penyusunan rancangan undang-undang disertai naskah akademik yang dapat berasal dari presiden atau Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan/atau Dewan Perwakilan Daerah.[2]
Pembahasan
Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh eksekutif bersama legislatif melalui 2 tingkat pembicaraan. Tingkat satu, yakni pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitia khusus. Tingkat dua adalah pembicaraan dalam rapat paripurna.[3]
Pengesahan
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden dalam jangka waktu paling lama 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang.[4]
Pengundangan
Undang-undang kemudian wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.[5]
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah:
Terkait pertanyaan Anda, sesungguhnya dapat merujuk pada pasal di atas bahwa undang-undang haruslah dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Kebutuhan masyarakat saat ini, yakni upaya untuk penanganan pandemi COVID-19.
Memang banyak yang menyayangkan, karena terdapat beberapa rancangan undang-undang yang tidak berkaitan dengan kebutuhan masyarakat bahkan dianggap merugikan masyarakat ikut disahkan juga selama pandemi COVID-19. Padahal, seharusnya DPR memaksimalkan fungsi pengawasan dan anggaran selama pandemi ini.
Mengenai beberapa undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat yang kemudian disahkan selama pandemi merupakan hal yang kurang tepat, apalagi undang-undang tersebut dianggap cacat formil, karena tidak melibatkan partisipasi publik.
Menyoal cacat hukum, sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua, yakni cacat materiil dan cacat formil yang kemudian terhadap dugaan cacat hukum ini dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Menurut Bachtiar dalam buku Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU terhadap UUD (hal. 133), pengujian konstitusionalitas undang-undang dapat dilakukan secara materiil (materiele toetsing) atau secara formil (formele toetsing).
Pengujian secara materiil adalah pengujian yang berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang. Sementara pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan apakah proses pembuatan undang-undang telah sesuai atau tidak dengan prosedur yang ditetapkan.
Pembagian antara pengujian materiil dan pengujian formil termaktub pada Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa dalam permohonan ke Mahkamah Konstitusi, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945; dan/atau
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Apabila undang-undang itu terbukti cacat secara materiil maupun formil, maka implikasinya adalah pembatalan sebagian atau keseluruhan undang-undang tersebut.
Kami telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang
Referensi:
Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015.
[1] Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20 ayat (3), (5), dan (6) UU 12/2011 sebagaimana yang telah diubah dengan UU 15/2019