KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pertanggungjawaban Hukum Daycare yang Lalai Menjaga Anak

Share
Perdata

Pertanggungjawaban Hukum Daycare yang Lalai Menjaga Anak

Pertanggungjawaban Hukum <i>Daycare</i> yang Lalai Menjaga Anak
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol

Bacaan 10 Menit

Pertanggungjawaban Hukum <i>Daycare</i> yang Lalai Menjaga Anak

PERTANYAAN

Baru-baru ini viral pemilik daycare yang menganiaya anak-anak usia di bawah tiga tahun yang “dititipkan” di sana. Lalu, bagaimana pertanggungjawaban hukum dari daycare jika pengasuh atau pemilik daycare ternyata melakukan penganiayaan terhadap anak?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Daycare dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia disebut penitipan anak atau dikenal dengan Taman Penitipan Anak (“TPA”).

    Jika diduga oknum pengasuh di daycare atau bahkan pemilik daycare melakukan penganiayaan, maka izin pendirian daycare dapat dicabut. Selain itu, daycare juga bisa digugat secara perdata atas dasar wanprestasi. Apa landasan hukumnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

     

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pertanggungjawaban Hukum Jika Daycare Lalai Menjaga Anak yang dibuat oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 16 Desember 2019.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pencabutan Izin Daycare

    Istilah daycare dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia adalah penitipan anak. Taman Penitipan Anak (“TPA”) sendiri, tergolong sebagai bentuk pendidikan anak usia dini sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka 7 Permendikbud 84/2014.

    Pasal tersebut menerangkan bahwa TPA adalah salah satu bentuk satuan Pendidikan Anak Usia Dini (“PAUD”) jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun dengan prioritas sejak lahir sampai dengan usia 4 tahun.

    Sementara itu, yang dimaksud dengan PAUD dalam Pasal 1 angka 1 Permendikbud 84/2014 adalah:

    Pendidikan Anak Usia Dini yang selanjutnya disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

    Kemudian, berdasarkan Pasal 19 Permendikbud 84/2014, TPA sebagai program pendidikan nonformal dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal dalam bentuk pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, atau satuan pendidikan nonformal sejenis, dengan terlebih dahulu mengajukan izin penyelenggaraan program. Izin penyelenggaraan program untuk TPA harus memenuhi ketentuan pendirian satuan PAUD sebagaimana diatur di dalam Permendikbud 84/2014.

    TPA (satuan PAUD) yang telah mendapatkan izin, dapat ditutup atau dicabut izinnya jika tidak layak berdasarkan hasil evaluasi.[1] Penutupan satuan PAUD tersebut dilakukan oleh kepala dinas pendidikan atau kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (“SKPD”) dengan mencabut izin pendirian satuan PAUD berdasarkan rekomendasi kepala dinas pendidikan.[2]

    Kami mengasumsikan bahwa daycare yang Anda maksud telah memperoleh izin penyelenggaraan program TPA. Apabila kemudian berdasarkan hasil evaluasi terbukti adanya pelanggaran, maka kepala dinas pendidikan dapat mencabut izinnya atau menutup satuan PAUD yang bersangkutan.

    Pertanggungjawaban Hukum Perdata

    Menurut hemat kami, terdapat hubungan keperdataan antara pihak orang tua atau pihak lain yang menitipkan anak dengan pihak TPA, sehingga penyelenggaraan penitipan anak didasarkan atas hubungan perjanjian untuk melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1601 KUH Perdata yang selengkapnya berbunyi:

    Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuan-ketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan kerja.

    Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Penitipan Anak Termasuk Perjanjian Apa?, Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (hal. 57) menjelaskan bahwa undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu:

    1. perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
    2. perjanjian kerja/perburuhan; dan
    3. perjanjian pemborongan pekerjaan.

    Penitipan anak di TPA dapat dikatakan termasuk ke dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Ini merujuk pada penjelasan mengenai “perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu” oleh Subekti (hal. 57-58).

    Dijelaskan bahwa dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu. Contohnya, hubungan dokter-pasien untuk menyembuhkan suatu penyakit, atau hubungan pengacara-klien.

    Subekti dalam bukunya yang lain, yaitu Hukum Perjanjian, menerangkan bahwa perjanjian untuk berbuat sesuatu yang bersifat pribadi, tidak dapat dilaksanakan secara riil apabila pihak yang menyanggupi tersebut tidak menepati janjinya (hal. 37).

    Maka dari itu, menurut hemat kami, karena pihak TPA yang diminta untuk menjaga anak yang dititipkan, maka pihak TPA-lah yang harus melaksanakan perjanjian tersebut, bukan pihak lain.

    Oleh karena itu, jika sampai terjadi kekerasan atau penganiayaan terhadap anak yang dititipkan di daycare oleh oknum pengasuh, guru, atau bahkan pemilik, maka daycare atau TPA telah lalai menjalankan kewajibannya. Sehingga, TPA tersebut dapat dikategorikan melakukan suatu wanprestasi. Hal ini karena dilandasi atas suatu perjanjian antara para pihak, di mana pihak TPA menjaga anak selama berada di bawah pengawasannya.

    Baca juga: Bunyi Pasal 1243 KUH Perdata tentang Wanprestasi

    Subekti dalam buku Hukum Perjanjian menjelaskan bahwa wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa (hal. 45):

    1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
    2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
    3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
    4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

    Pihak TPA dapat dikenakan sanksi berupa penggantian biaya dan kerugian, karena TPA melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan, juga tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, salah satunya menjaga anak yang dititipkan di bawah pengawasannya. Ganti biaya dan kerugian tersebut diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan:

    Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

    Baca juga: Pemilik Daycare Aniaya Balita, Ini Jerat Hukumnya

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 84 Tahun 2014 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Anak Usia Dini.

    Referensi:

    1. Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni, 1985;
    2. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.

    [1] Pasal 18 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 84 Tahun 2014 tentang Pendirian Satuan Pendidikan Anak Usia Dini (“Permendikbud 84/2014”)

    [2] Pasal 18 ayat (2) Permendikbud 84/2014

     

    Tags

    perjanjian
    anak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    14 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    dot
    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda di sini!