Ada sepasang suami istri, sebut si suami �A� dan Istri �B�, sepasang suami istri ini mendapatkan harta warisan/hibah dari orang tua �A� berupa rumah yang surat rumahnya masih tulisan belanda. Rumah tersebut sudah reot, namun rumah tersebut berhasil direnovasi menjadi bagus dengan dibiayai oleh si �B�. Pernikahan mereka membuahkan dua anak perempuan yang saat ini telah menikah. Suatu ketika si �B� (istri) meninggal dunia. Kemudian si �A� menikah kembali dengan �C� (siri atau sah Negara tidak diketahui). Dan diketahui pula bahwa si �C� telah memiliki anak dari hasil pernikahan sebelumnya. Suatu saat Si �A�, telah menjual rumah tersebut tanpa sepengetahuan anak kandungnya. Yang ingin saya tanyakan adalah: 1. Apakah penjualan rumah tersebut sah? (perlukah persetujuan dari para anak) 2. Apakah kedua anak perempuan tersebut berhak mendapat bagian dari penjualan tersebut? (akta waris belum pernah dibuat. Namun ada surat akta kelahiran yang menyatakan bahwa kedua anak tersebut adalah anak mereka) 3. Apabila Si �A� ternyata tidak berkenan untuk membagi kepada dua anak tersebut apakah sang anak dapat menuntut? 4. Jika si �A� suatu saat meninggal dunia, apakah si �C� berhak atas hasil penjualan rumah tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan sebagai berikut:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
A.Sebelum Berlakunya UU Perkawinan
Jika perkawinan tersebut dilakukan sebelum UU Perkawinan, harta warisan atau hibah dari orang tua si A juga termasuk ke dalam harta bersama. Ini karena menurut Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami isteri (selama tidak ada perjanjian kawin antara keduanya).
Jika rumah dari warisan atau hibah tersebut menjadi harta bersama karena perkawinan, maka ada bagian istri (B) dalam rumah tersebut. Yang berarti ketika si B meninggal dunia, setengah dari rumah warisan atau hibah tersebut adalah bagian B, yang kemudian menjadi bagian dari harta peninggalan untuk para ahli warisnya (si A dan kedua anak perempuan mereka).
Ini berarti setelah si B meninggal, yang menjadi pemilik dari rumah warisan atau hibah tersebut bukan lagi si A dan B (sebagai harta bersama), tetapi setengah bagian milik si A dan setengah bagian lagi menjadi milik bersama si A serta dua anak perempuannya. Oleh karena itu, jika si A ingin menjual rumah tersebut, ia perlu izin dari kedua anaknya yang juga merupakan ahli waris dari B (yang mempunyai bagian dalam rumah tersebut sebagai harta bersama).
Jika rumah tersebut dijual, kedua anak perempuan tersebut berhak mendapatkan bagian dari penjualan rumah tersebut. Yaitu setengah bagian dari rumah tersebut yang menjadi bagian si B dibagi 3 (tiga) di antara para ahli warisnya (si A dan kedua anak mereka).
Jika si A tidak berkenan memberikan bagian warisan si B (dalam rumah tersebut) kepada anak-anak mereka, anak-anak tersebut dapat mengajukan gugatan atas hak waris mereka (Pasal 834 KUHPer).
Sedangkan si C, jika si A meninggal dan pernikahan mereka terdaftar secara negara, maka dia berhak atas bagian si A dalam harta bersama berupa rumah warisan tersebut. Bagian si A dalam rumah warisan tersebut menjadi harta peninggalannya yang akan dibagikan kepada para ahli warisnya yaitu si C dan kedua anak perempuan A. Akan tetapi perlu diingat bahwa bagian dari istri kedua tidak lebih dari ¼ bagian dari harta peninggalan pewaris atau sama dengan bagian terkecil yang diterima anak-anak (atau keturunannya) dari istri pertama (Pasal 852a ayat (1) KUHPer).
Namunbila hal perkawinan A dan C tidak terdaftar secara negara, maka si C tidak berhak atas hasil penjualan rumah tersebut jika A meninggal dunia.
B.Setelah Berlakunya UU Perkawinan
Jika perkawinan tersebut dilakukan setelah berlakunya UU Perkawinan, maka warisan atau hibah yang diterima oleh si A merupakan harta bawaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan. Atas harta bawaan ini, para pihak berhak untuk melakukan tindakan hukum tanpa meminta persetujuan pasangannya.
Rumah tersebut adalah harta bawaan, maka si A berhak untuk menjual rumah tersebut tanpa persetujuan anak-anaknya dari perkawinannya dengan si B. Anak-anak tersebut juga tidak berhak mendapat bagian dari penjualan tersebut.
Karena anak-anak tersebut tidak mempunyai hak atas hasil penjualan rumah, maka mereka tidak dapat melakukan gugatan apapun.
Sedangkan jika si A meninggal dunia, dalam hal perkawinan A dan C terdaftar secara negara, maka hasil penjualan tersebut menjadi warisan si A yang akan dibagikan kepada ahli warisnya yaitu anak-anak A dari perkawinan pertama dan si C. Akan tetapi perlu diingat bahwa bagian dari istri kedua tidak lebih dari ¼ bagian dari harta peninggalan pewaris atau sama dengan bagian terkecil yang diterima anak-anak (atau keturunannya) dari istri pertama (Pasal 852a ayat (1) KUHPer).
Sedangkan dalam hal perkawinan A dan C tidak terdaftar secara negara, maka si C tidak berhak atas hasil penjualan rumah tersebut jika A meninggal dunia.