Bung Pokrol Yth, seorang rekan saya (pria WNI-Kristen), 9 tahun yang lalu menikahi wanita (WNI-kristen) di gereja di USA (mereka dikaruniai seorang putri). Setelah mereka kembali ke Indonesia, mereka tidak mencatatkan perkawinan mereka ke catatan sipil di Indonesia. Nah, tanpa sepengetahuan wanita pertama, beberapa waktu yang lalu, rekan saya itu masuk Islam dan menikah lagi dengan wanita Islam dengan tata cara perkawinan Islam (di KUA). Pada saat menikah ia mengaku belum pernah menikah. Yang jadi pertanyaan saya: 1. Apakah wanita pertama dapat menuntut perkawinan kedua tersebut? 2. Manakah yang lebih sah menurut hukum Indonesia, perkawinan pertama atau kedua? 3. Apakah rekan saya dapat menceraikan wanita pertama mengingat dia tidak mempunyai surat nikah catatan sipil Indonesia? 4. Tuntutan dan hukuman yang bagaimana yang mungkin dapat dikenakan pada rekan saya yang laki-laki dan perempuan kedua? Demikian, mohon jawabannya. Terima kasih sebelumnya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
1.Dalam kasus ini, rekan anda telah melakukan perkawinan campuran. Pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengatur bahwa:
“Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini”
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam hal perkawinan dilakukan di Amerika Serikat (US), maka perkawinan mereka harus sesuai dengan aturan perkawinan di negara tersebut. Apabila perkawinan telah dilakukan sesuai aturan perkawinan yang berlaku, maka perkawinan tersebut adalah sah.
Menurut pasal 70 ayat (1) Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Perpres No. 25/2008), pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di negara setempat. Pasal 73 Perpres No. 25/2008 selanjutnya mengatur bahwa setelah kembali ke Indonesia, perkawinan sedemikian harus dilaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Namun, apabila jangka waktu satu tahun ini terlewati, pencatatan perkawinan masih bisa dilakukan dengan melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang bersangkutan, dan dengan dikenai denda administratif sesuai pasal 107 Perpres No. 25/2008.
Jadi, walaupun perkawinan tersebut belum dilaporkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia, perkawinan tersebut tetap sah dan tidak menjadi batal. Dan oleh karena itu, si wanita, atau lebih tepatnya istri pertama dapat mengajukan upaya hukum terhadap suaminya tersebut. Upaya hukum yang dimaksud kami uraikan lebih lanjut pada jawaban butir 4 di bawah.
2.Sesuai uraian butir 1 di atas, perkawinan pertama tetap dianggap sah dalam hukum Indonesia, walaupun belum dicatatkan. Perkawinan kedua, yang dilakukan tanpa seizin istri pertama, adalah tidak sah.
3.Karena perkawinan pertama adalah sah, maka perceraian bisa dimohonkan, baik oleh suami maupun istri. Akan tetapi, karena perkawinan ini belum dicatatkan di Indonesia, maka perceraian tersebut dilakukan di negara di mana perkawinan tersebut dilakukan, yaitu di Amerika.
4.Istri pertama dapat melakukan pembatalan perkawinan, sesuai pasal 22, pasal 23 dan pasal 24 UU Perkawinan.
Selain itu, si istri pertama dapat pula melaporkan suaminya dan istri kedua atas dasar kejahatan terhadap perkawinan, sebagaimana datur dalam pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“(1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun:
1e. barangsiapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi.
2e. barangsiapa yang kawin, sedang diketahuinya, bahwa perkawinan yang sudah ada dari pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi pihak yang lain itu akan kawin lagi.”
Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
DASAR HUKUM
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar hukum keluarga lainnya dalam buku “Tanya Jawab Hukum Perkawinan & Perceraian” dan “Tanya Jawab Hukum Waris & Anak” (hukumonline dan Kataelha) yang telah beredar di toko-toko buku.