Saya ingin menanyakan hal mengenai pembuatan perjanjian pemisahan harta kekayaan yang didapatkan dalam perkawinan. Akan tetapi di sini kondisinya suami-istri tersebut dalam keadaan pisah ranjang. Lalu apakah dapat dilakukan perjanjian pemisahaan harta tersebut? Mengingat UU Perkawinan tidak mengenal adanya pisah ranjang seperti yang ada di dalam KUH Perdata. Demikian pertanyaan yang saya ajukan, sekiranya mohon diberikan pencerahan. Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pernah dipublikasikan padaKamis, 09 Pebruari 2012.
1.Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2.Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Perjanjian Kawin
Perjanjian Perkawinan atau disebut juga Perjanjian Pra-Nikah (Prenuptial Agreement) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) maupun UU Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam praktiknya, sebagaimana kami kutip dari artikel Perkawinan Campuran (2), menurut advokat Anita D.A. Kolopaking, perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi:
1.Harta bawaan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2.Semua hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau istri.
3.Istri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu maupun pekerjaannya atau sumber lain
4.Untuk mengurus hartanya itu, istri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.
5.dan lain sebagainya.
Bolehkah Perjanjian Kawin Dibuat Setelah Perkawinan Terjadi?
(1)Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4)Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan harus disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
Oleh karena itu, jika tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya, maka semua harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami istri[1] dan akan menjadi harta gono gini dalam hal pasangan suami istri tersebut bercerai. Lebih jauh, simak artikelPembagian Harta Gono Gini.
Menjawab pertanyaan Anda, meskipun pasangan suami istri telah pisah ranjang, perjanjian kawin dapat dibuat untuk mengatur pemisahan harta, karena suami istri tersebut masih dalam ikatan perkawinan.