KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perbedaan Wewenang DPR, MA, dan MK dalam Perubahan Undang-Undang

Share
Kenegaraan

Perbedaan Wewenang DPR, MA, dan MK dalam Perubahan Undang-Undang

Perbedaan Wewenang DPR, MA, dan MK dalam Perubahan Undang-Undang
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya tentang putusan MK tentang syarat usia calon kepala daerah yang isunya akan dianulir oleh DPR dengan alasan mengikuti putusan MA sebelumnya. Sebagai orang awam hukum, bagaimana sebenarnya kedudukan dari DPR, MA, dan MK? Apa kewenangan ketiga lembaga negara itu dalam mengubah atau membentuk suatu aturan undang-undang? Kemana DPR harus mengacu ketika ada perbedaan putusan MA atau MK DPR?

 

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Baik itu DPR, MA, dan MK merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Akan tetapi, masing-masing lembaga negara memiliki kewenangannya masing-masing. Secara umum DPR adalah lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan legislatif, sedangkan MA dan MK merupakan lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif.

    Meski demikian, ketiga lembaga tersebut memiliki irisan kewenangan terkait dengan penetapan suatu norma dalam peraturan perundang-undangan, diaman DPR merupakan positive legislator yaitu membuat norma, sedangkan MA dan MK pada dasarnya adalah negative legislator atau penghapus/pembatal suatu norma.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di KlinikĀ hukumonline.comĀ disiapkan semata ā€“ mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatĀ Pernyataan PenyangkalanĀ selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganĀ Konsultan Mitra Justika.

    Dasar Hukum DPR, MA, dan MK dalam Konstitusi

    KLINIK TERKAIT

    Sebelum menjelaskan kewenangan dari masing-masing lembaga negara perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (ā€œDPRā€), Mahkamah Agung (ā€œMAā€), dan Mahkamah Konstitusi (ā€œMKā€) merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Aturan mengenai DPR salah satunya dapat ditemukan di dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi:

    Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Sedangkan untuk MA dan MK dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi:

    Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

    Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat

    DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara,[1] yang mempunyai:[2]

    1. Fungsi Legislasi yang dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang;
    2. Fungsi Anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh presiden; dan
    3. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

    Adapun, DPR dalam menjalankan fungsinya memiliki wewenang antara lain:[3]

    1. Membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan untuk mendapat persetujuan bersama;
    2. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh presiden untuk menjadi undang-undang;
    3. Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh presiden atau DPR;
    4. Membahas rancangan undang-undang yang diajukan DPD mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta permbangan keuangan pusat dan daerah;
    5. Membahas bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh presiden;
    6. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber dayaĀ  alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
    7. Memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;
    8. Memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
    9. Memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
    10. Memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
    11. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
    12. Memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
    13. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden; dan
    14. Memilih 3 orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada presiden untuk diresmikan dengan keputusan presiden

    Perlu diketahui bahwa dalam menjalankan fungsi legislasinya, DPR juga harus memperhatikan materi muatan yang seyogianya diatur di dalam undang-undang, yaitu:[4]

    1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
    2. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
    3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
    4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
    5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

    Wewenang Mahkamah Agung

    Lantas, apa itu MA? Berdasarkan Pasal 1 UU 5/2004, MA adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.[5]

    Terkait dengan kewenangan MA, Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut:

    1. Mengadili pada tingkat kasasi;
    2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
    3. Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

    Selain itu, lebih lanjut dijelaskan juga bahwa MA berwenang memeriksa dan memutus:[6]

    1. Pemohon kasasi;
    2. Sengketa tentang kewenangan mengadili antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lain, antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama, dan antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan;
    3. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    Berkaitan dengan wewenang MA untuk melakukan judicial review, Pasal 31 ayat (2) UU 3/2009 menjelaskan bahwa MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan atas alasan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

    Adapun, mengenai sifat putusan judicial review yang dilakukan oleh MA adalah inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum terhadapnya. Selengkapnya dapat disimak dalam artikel Sifat Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Agung.

    Wewenang Mahkamah Konstitusi

    MK adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[7]

    Pasal 24C UUD 1945 memberikan wewenang MK yang terdiri dari:

    1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
    2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
    3. Memutuskan pembubaran partai politik;
    4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

    Perbedaan Wewenang DPR, MA, dan MK dalam PerubahanĀ Undang-Undang

    Menjawab pertanyaan Anda tentang apa wewenang DPR, MA, dan MK untuk mengubah suatu undang-undang, dapat kami jelaskan bahwa perbedaan paling mendasar antara DPR, MA, dan MK adalah DPR merupakan lembaga penyelenggara kekuasaan legislatif sedangkan MA dan MK merupakan lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif.

    Disarikan dari artikel Makna Trias Politica dan Penerapannya di Indonesia yang dimaksud dengan kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya.

    Adapun, terkait dengan kewenangan DPR, MA, dan MK untuk mengubah suatu norma peraturan perundang-undangan, kami terangkan bahwa DPR pada dasarnya merupakan positive legislator (pembuat norma), yang mana berdasar pada fungsi legislasi DPR yaitu untuk membentuk undang-undang. Sedangkan MA maupun MK pada dasarnya merupakan negative legislator, yaitu jadi lembaga yang melakukan penghapusan norma atau pencabutan norma atau biasa disebut dengan istilah judicial review.[8]

    Meski demikian, dalam perkembangannya, MK juga mengambil peran legislatif sebagai pembentuk undang-undang dengan membentuk norma-norma baru dalam putusannya (positive legislator).[9]

    Berkenaan dengan pertanyaan Anda mengenai kemana DPR harus mengacu jika ada perbedaan putusan antara MA dan MK, kami berpendapat bahwa karena wewenang MA adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan sebagainya) terhadap undang-undang, maka putusan MA tidak berimplikasi terhadap kewajiban DPR untuk menindaklanjuti putusan tersebut ke dalam suatu undang-undang. Hal ini karena wewenang MA bukanlah menguji norma undang-undang, melainkan menguji norma peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang apakah sesuai dengan undang-undang atau tidak.

    Hal tersebut juga selaras dengan pendapat Jimly Asshiddiqie dalam buku Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi yang menyebutkan bahwa MA pada pokoknya merupakan pengawal undang-undang (the guardian of Indonesian law) (hal. 156).

    Tentu kondisi ini berbeda dengan putusan MK dalam pengujian suatu undang-undang terhadap UUD 1945, yang bersifat final dan mengikat serta erga omnes yaitu mengikat semua elemen negara.[10] Artinya, putusan MK tersebut mengikat semua lembaga negara, termasuk DPR. Adapun, jika DPR akan menindaklanjutinya ke dalam suatu norma undang-undang, maka DPR selaku pembentuk undang-undang seyogianya terikat ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU 12/2011 bahwa salah satu materi muatan undang-undang adalah tindak lanjut putusan MK.

    Adapun, mengenai pertanyaan Anda yang menyinggung soal putusan MK yang dianulir DPR, Anda dapat menemukan pembahasan selengkapnya dalamĀ  artikel Putusan MK Tak Dilaksanakan, Harus Bagaimana? dan Bisakah ā€œMenghidupkanā€ Kembali Pasal yang Pernah Dibatalkan MK?

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Ā 

    DASAR HUKUM

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
    Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

    Ā 

    REFERENSI

    1. Adena Firti Puspita Sari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator. Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol 1, No 1, 2022;
    2. Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006;
    3. M. Agus Maulidi. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No. 2, Juni 2019.

    Ā 


    [1] Pasal 68 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (ā€œUU MD3ā€)

    [2] Pasal 69 ayat (1) jo. Pasal 70 UU MD3

    [3] Pasal 71 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

    [4] Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

    [5] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (ā€œ UU 14/1985ā€)

    [6] Pasal 28 ayat (1) UU 14/1985 jo. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

    [7] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (ā€œUU 24/2003ā€)

    [8] Adena Firti Puspita Sari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator. Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol 1, No 1, 2022, hal. 687

    [9] Adena Firti Puspita Sari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator. Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol 1, No 1, 2022, hal. 689

    [10] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-UndangĀ Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dan M. Agus Maulidi. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No. 2, Juni 2019, hal. 353

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda