Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perbedaan Dasar Bank Konvensional dengan Bank Syariah yang dibuat oleh Abi Jam’an Kurnia, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 7 Desember 2018.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami dulu apa definisi bank. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.[1]
Adapun, yang dimaksud bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran.[2]
Selain bank umum, terdapat bank perekonomian rakyat (“BPR”) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.[3]
Berdasarkan definisi bank, bank umum, dan BPR di atas, dapat digambarkan sebagai berikut:
Lebih lanjut, yang dimaksud bank syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk lain berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank perekonomian rakyat syariah.[4]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bank syariah merupakan salah satu jenis bank umum, disamping bank konvensional. Sedangkan bank syariah itu sendiri terdiri atas bank umum syariah dan BPR syariah. Maka, menurut hemat kami, istilah yang tepat adalah bank umum syariah dan bank umum konvensional untuk menggambarkan karakteristik masing-masing.
Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah
Perbedaan bank umum konvensional dan bank umum syariah dapat digambarkan pada tabel di bawah ini.
Aspek Pembeda | Bank Umum Syariah | Bank Umum Konvensional |
Prinsip yang melandasi kegiatan usaha | Prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. | Berasaskan demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. |
Dasar Hukum | - Al-Quran dan hadis
- UU 21/2008 dan UU 4/2023
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”)
- Peraturan Bank Indonesia (“BI”)
- Fatwa DSN-MUI
| - UU 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU 10/1998 dan UU 4/2023
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
- Peraturan Bank Indonesia
|
Fungsi | - Lembaga intermediasi
- Fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal.
| Lembaga intermediasi |
Orientasi kegiatan usaha | Profit dan falah oriented. | Profit oriented. |
Perolehan keuntungan | Margin pada akad jual beli, nisbah bagi hasil pada akad bagi hasil, dan imbalan jasa pada akad sewa. | Perangkat bunga. |
Pengawasan | OJK dan Dewan Pengawas Syariah. | OJK |
Penyelesaian Sengketa | - Pengadilan Agama
- Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas-MUI)
| - Pengadilan Negeri
- Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”)
|
Berdasarkan tabel di atas, akan kami menjelaskan satu persatu. Pertama, perbedaan prinsip yang melandasi kegiatan usaha antara bank umum syariah dengan bank umum konvensional adalah pada kegiatan usaha bank umum syariah harus berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.[5]
Kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah yaitu tidak mengandung unsur:[6]
- riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
- maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
- gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
- haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
- zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sementara, arti dari “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[7]
Sementara pada bank umum konvensional, kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.[8]
Kedua, landasan hukum bagi bank umum syariah tidak hanya UU 21/2008, UU 4/2023, Peraturan OJK dan Peraturan BI saja, tetapi juga harus berdasarkan pada Al-Quran, hadis dan Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (“DSN-MUI”)[9] sebagai konsekuensi karakter bank umum syariah yang berlandaskan pada prinsip syariah.
Ketiga, fungsi utama bank umum syariah tidak berbeda dengan bank umum konvensional, yaitu berfungsi sebagai lembaga intermediasi yaitu menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat.
Namun, pada bank umum syariah dan unit usaha syariah (“UUS”) juga diamanahkan menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Disamping itu, bank umum syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menjadi pengelola wakaf/nazir dan/atau menyalurkannya melalui pengelola wakaf/nazir sesuai dengan kehendak pemberi wakaf/wakif.[10]
Keempat, orientasi kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank umum syariah tidak berbeda dengan bank umum konvensional yaitu mencari untung. Tetapi pada bank umum syariah tidak terbatas hanya mencari untung saja, tetapi juga falah oriented atau orientasi kebahagiaan dunia akhirat.[11]
Kelima, di dalam mencari keuntungan, bank umum syariah tidak menggunakan perangkat bunga seperti pada bank umum konvensional, tetapi tergantung pada akad yang membingkai hubungan hukum para pihak. Pada akad jual beli seperti akad murabahah maka keuntungannya dalam bentuk margin keuntungan. Pada akad bagi hasil seperti pada akad mudarabah dan musyarakah, maka keuntungannya diperoleh dari persentase nisbah bagi hasil yang disepakati antara bank dengan nasabahnya. Sedangkan pada akad sewa seperti pada akad ijarah dan ijarah muntahiyyah bittamlik, maka keuntungannya diperoleh dari imbalan jasa (ujrah).[12]
Keenam, pengawasan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank umum syariah maupun bank umum konvensional dilakukan oleh OJK.[13] Akan tetapi, untuk bank umum syariah ada pengawasan khusus terhadap kepatuhan syariah yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (“DPS”). DPS sendiri adalah dewan yang bertugas untuk memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.[14]
Dasar hukum DPS adalah Pasal 109 UU PT dan Pasal 32 UU 21/2008. Ketidak patuhan bank umum syariah terhadap prinsip syariah akan berdampak pada sanksi administratif dan sanksi pidana jika melanggarnya.[15]
Ketujuh, kompetensi absolut penyelesaian sengketa secara litigasi antara bank umum syariah dengan nasabahnya adalah pada pengadilan agama bukan pada pengadilan negeri.[16] Sedangkan, penyelesaian sengketa secara non litigasi, bank umum syariah diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.[17] Sedangkan pada bank umum konvensional penyelesaian sengketanya dilakukan ke pengadilan negeri atau ke BANI.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan;
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2022 Tahun 2022 tentang Bank Umum Syariah.
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
Referensi:
- Abdul Ghofur Anshori. Hukum Perbankan Syariah (UU No.21 Tahun 2008). Bandung: Refika Aditama, 2009;
- Amran Suadi. Eksekusi Jaminan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media Group, 2019;
- Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001;
- Basyarnas MUI, yang diakses pada Senin, 1 September 2023, pukul 10.46 WIB.
- Konsep Operasional Perbankan Syariah, yang diakses pada Rabu, 20 September 2023 pukul 15.29 WIB;
- Perbankan Syariah dan Kelembagaannya Kebahagiaan, yang diakses pada Kamis, 31 Agustus 2023.
[2] Pasal 14 angka 1 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 1 angka 3 UU 10/1998
[3] Pasal 14 angka 1 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 1 angka 4 UU 10/1998
[6] Penjelasan Pasal 2 UU 21/2008
[7] Penjelasan Pasal 2 UU 21/2008
[9] Lihat Penjelasan Umum UU 21/2008
[10] Pasal 15 angka 3 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) UU 21/2008
[15] Abdul Ghofur Anshori. Hukum Perbankan Syariah (UU No.21 Tahun 2008). Bandung: Refika Aditama, 2009, hal. 113
[17] Basyarnas MUI, yang diakses pada Senin, 1 September 2023, pukul 10.46 WIB. Lihat juga Amran Suadi. Eksekusi Jaminan dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Jakarta: Prenada Media Group, 2019, hal. 224