Apa itu asas non-retroaktif dan apa dasar hukumnya? Diterapkan di mana saja asas ini?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Asas non retroaktif adalah asas yang menyatakan bahwa suatu undang-undang tidak boleh berlaku surut.
Akan tetapi penerapan asas non retroaktif ini tidak diterapkan secara mutlak, karena terdapat pengecualian yang memperbolehkan suatu peraturan berlaku secara surut. Apa saja pengecualian tersebut?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Asas Non-Retroaktif yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 17 September 2010.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian Asas Non Retroaktif
Menurut Ishaq dalam bukunya berjudul Hukum Pidana (hal. 55), yang dimaksud dengan asas non retroaktif adalah undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku ke belakang. Jadi, perbuatan seseorang haruslah diadili menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan (lex temporis delicti). Dengan kata lain, seseorang tidak boleh dihukum karena suatu perbuatan yang sudah lewat, sedangkan undang-undang yang menentukan bahwa perbuatan itu merupakan kejahatan, baru datang kemudian.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Adapun menurut Simons sebagaimana yang dikutip oleh Edward Omar Sharif Hiariej dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hal. 77), undang-undang hukum pidana hanya dapat diberlakukan terhadap suatu perbuatan yang telah dilakukan setelah undang-undang pidana tersebut mulai diberlakukan dan telah dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap hal-hal yang terjadi di kemudian hari. Lebih lanjut, Van Bemmelen menyatakan bahwa tidak seorangpun yang dapat dipidana, kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana yang telah ada terlebih dahulu sebelum perbuatannya. Ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Dengan demikian, pada dasarnya, asas non retroaktif melarang undang-undang untuk berlaku surut. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, yang mana harus ditetapkan terlebih dahulu ketentuan pidana tentang suatu perbuatan, baru kemudian pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat dikenakan sanksi pidana sebagai konsekuensi logis atas pilihan bebas subjek hukum untuk berbuat suatu perbuatan yang dilarang.
Dasar Hukum Asas Non Retroaktif
Lebih lanjut, Lukman Hakim dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 31) menyebutkan larangan keberlakuan surut bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak.
Lalu, asas non retroaktif diatur dalam pasal berapa? Hal ini termaktub di dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surutadalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dalam konteks hukum pidana, asas non retroaktif diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[1] yaitu tahun 2026 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (1) KUHP
Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023 ketentuan tersebut mengandung asas legalitas yang menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Masih dalam penjelasan pasal tersebut, asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Pengecualian Asas Non Retroaktif
Asas non retroaktif dalam hukumpidana dapat disimpangi, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut dapat dipahami bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama apabila perkara tersebut masih dalam proses persidangan atau belum ada putusan pengadilan.
Adapun, ketentuan pengecualian asas non retroaktif dalam KUHP baru diatur di dalam Pasal 3 UU 1/2023 sebagai berikut:
Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana.
Dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2) diterapkan bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan, tersangka atau terdakwa dibebaskan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.
Dalam hal putusan pemidanaan telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), instansi atau pejabat yang melaksanakan pembebasan merupakan instansi atau pejabat yang berwenang.
Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) tidak menimbulkan hak bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana menuntut ganti rugi.
Dalam hal setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.
Menurut Romli Atmasasmita yang dikutip Andi Sofyan dan Nur Azisa dalam buku Hukum Pidana (hal. 24), prinsip hukum non retroaktif berlaku untuk pelanggaran pidana biasa. Sedangkan pelanggaran hak asasi manusia yang bukan pelanggaran biasa, maka prinsip nonretroaktif tidak bisa dipergunakan.
Dikesampingkannya asas non retroaktif dalam pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat dalam ketentuan Penjelasan Pasal 4 UU HAM yang berbunyi:
…Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM juga mengatur mengenai pengecualian penerapan asas non retroaktif yang menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.