Saya ingin tanya terkait kasus anak yang menganiaya ODGJ hingga meninggal dunia. Apakah ODGJ memiliki perlindungan hukum? Bagaimana hukumnya mengingat pelaku adalah anak di bawah umur?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Orang Dengan Gangguan Jiwa (“ODGJ”) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Lantas, apa hukumnya pelaku penganiayaan ODGJ? Bagaimana sanksi pidananya jika pelaku penganiayaan masih berusia anak?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian ODGJ
Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang penganiayaan ODGJ, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan atau ketidakmampuan di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat.[1]
Sedangkan Orang Dengan Gangguan Jiwa (“ODGJ”) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU 18/2014.
Lantas, apakah ODGJ memiliki perlindungan hukum? Berikut ulasannya.
Perlindungan Hukum bagi ODGJ
Pada dasarnya, perlindungan Hak Asasi Manusia (“HAM”) untuk bebas dari penyiksaan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap negara termasuk Indonesia sebagai state obligation. Dalam rangka melaksanakan state obligation tersebut, Indonesia telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan dalam rangka menjamin perlindungan HAM bagi setiap warga negaranya.[2]
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Kemudian, hak untuk bebas dari penyiksaan juga diatur secara langsung oleh konstitusi melalui beberapa pasal dalamUUD 1945 yang berbunyi:
Pasal 28G ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28I ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Lebih lanjut, Pasal 148 ayat (1) UU 36/2009 juga secara tegas mengatur bahwa penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
Dari berbagai pasal di atas dapat kita simpulkan bahwa ODGJ dilindungi oleh undang-undang, dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
Pada dasarnya, ketentuan mengenai penganiayaan dapat Anda baca selengkapnya pada Pasal 351 s.d. Pasal 358 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta Pasal 466 s.d. Pasal 471 UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.[3]
Disarikan dari artikel Perbedaan Pasal Penganiayaan Ringan dan Penganiayaan Berat, dalam hukum pidana di Indonesia dikenal dua jenis penganiayaan, yaitu penganiayaan ringan yang termasuk dalam kejahatan ringan, dan penganiayaan berat. Namun, sesuai pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan salah satunya yaitu tindak pidana penganiayaan berat hingga mengakibatkan korban meninggal dunia yang diatur dalam pasal sebagai berikut.
Pasal 354 KUHP
Pasal 468 UU 1/2023
Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.
Setiap orang yang melukai berat orang lain, dipidana karena penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.
Kemudian, menjawab pertanyaan Anda tentang bagaimana jika tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah umur? Perlu diketahui dulu pengertian anak yang berkonflik dengan hukum (“anak”) adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.[4]
Selanjutnya, dalam UU Pidana Anak membagi dua jenis pidana yang dapat menjerat anak, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok bagi anak terdiri atas:[5]
pidana peringatan;
pidana dengan syarat:
pembinaan di luar lembaga;
pelayanan masyarakat; atau
pengawasan.
pelatihan kerja;
pembinaan dalam lembaga; dan
penjara.
Lebih lanjut, dikutip dari artikel Mengenal Macam-macam Sanksi Pidana Anak, pidana tambahan bagi anak terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat, yaitu denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental anak.[6]
Perlu Anda catat, tindak pidana anak jika dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.[7] Kemudian, hukuman pidana penjara anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.[8] Lalu, jika anak telah menjalani 1/2 dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik, maka anak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.[9]
Kesimpulannya, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Namun demikian, penderita gangguan jiwa tetap dilindungi undang-undang dan mempunyai hak yang sama sebagai warga negara, antara lain hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Sehingga, orang yang melakukan penganiayaan ODGJ hingga mengakibatkan kematian dipidana penjara maksimal 10 tahun. Akan tetapi, jika pelaku tindak pidana masih berusia anak, pidana penjara dijatuhkan paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, yaitu 5 tahun.
Dewi Norma Palupi. Karakteristik Keluarga ODGJ dan Kepesertaan JKN Hubungannya dengan Tindakan Pencarian Pengobatan bagi ODGJ. Jurnal Kesehatan, Vol. 7, No. 2, 2019;
Rommy Patra. Perlindungan Hak Konstitusional untuk Bebas dari Penyiksaan di Indonesia. Jurnal Konstitusi, Vol. 15, No. 3, 2018;
[1] Dewi Norma Palupi. Karakteristik Keluarga ODGJ dan Kepesertaan JKN Hubungannya dengan Tindakan Pencarian Pengobatan bagi ODGJ. Jurnal Kesehatan, Vol. 7, No. 2, 2019, hal. 82
[2] Rommy Patra. Perlindungan Hak Konstitusional untuk Bebas dari Penyiksaan di Indonesia. Jurnal Konstitusi, Vol. 15, No. 3, 2018, hal. 567