KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi

Share
Pidana

Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi

Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi
Emil Christanto, S.H.NKHP Law Firm

Bacaan 10 Menit

Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi

PERTANYAAN

Apa yang dimaksud dengan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi? Bagaimana penerapan asas ini dalam perkara tipikor? 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pembuktian terbalik merupakan suatu sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia yang memberikan beban pembuktian kepada terdakwa dalam pemeriksaan sidang pengadilan.

    Pembuktian terbalik tidak berlaku secara umum, melainkan diatur secara khusus, seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Lalu, bagaimana aturan tentang pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Sistem Pembalikan Beban Pembuktianyang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 19 Maret 2013.

    KLINIK TERKAIT

    Jerat Pasal Korupsi untuk Pembantu Tipikor

    Jerat Pasal Korupsi untuk Pembantu Tipikor

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Apa itu Pembuktian Terbalik?

    Dalam hukum acara pidana di Indonesia, pembuktian tindak pidana merupakan kewajiban dari penuntut umum yang menuntut terdakwa di hadapan pengadilan. Hal ini diatur di dalam Pasal 66 KUHAP yang dengan jelas mengatur bahwa terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Adapun, bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

    Dengan demikian, pembuktian dalam hukum acara pidana yang berlaku umum, sepenuhnya merupakan kewajiban dari penuntut umum. Sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, melainkan diberikan hak untuk menyampaikan pembelaan.

    Pembalikan beban pembuktian (omkering van bewijslast atau reversal of burden proof)[1] atau biasa dikenal dengan istilah pembuktian terbalik adalah suatu sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia yang memberikan beban pembuktian kepada terdakwa dalam pemeriksaan sidang pengadilan.

    Menurut Andi Hamzah, pembalikan beban pembuktian adalah suatu sistem pembuktian dimana terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika tidak dapat membuktikan maka ia dianggap bersalah. Pembuktian terbalik tidak diatur di dalam KUHAP, sehingga tidak secara umum diterapkan dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia, melainkan diatur secara khusus dalam undang-undang lain yang memiliki ketentuan pidana.[2]

    Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi

    Salah satu undang-undang yang menjadi dasar hukum pembuktian terbalik adalah UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

    Di dalam UU 31/1999 mengatur sebuah sistem pembuktian yang memberikan beban pembuktian kepada terdakwa. Hal ini termaktub di dalam Penjelasan Umum UU 31/1999 yang menerangkan bahwa undang-undang ini menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

    Ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi lebih lanjut diatur di dalam Pasal 37 UU 31/1999 yang berbunyi:

    (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

    (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

    Dalam Pasal 37 UU 31/1999 tersebut, terdakwa diberikan hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya. Apabila hak tersebut digunakan oleh terdakwa dan ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan, maka pengadilan dapat menggunakan pembuktian dari terdakwa sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan yang membebaskan terdakwa.

    Hak yang diberikan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi tersebut merupakan bentuk pembuktian terbalik.

    Selain memberikan hak kepada terdakwa, terdakwa juga dibebani kewajiban kepada untuk membuktikan perolehan seluruh harta bendanya yang diduga berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur di dalam Pasal 37A ayat (1) dan (2) UU 20/2001, sebagai berikut:

    (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

    (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaan, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

    Pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1) UU 20/2001 di atas memberikan kewajiban kepada terdakwa untuk membuktikan perolehan harta kekayaannya yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan.

    Pembuktian tersebut memiliki implikasi jika terdakwa tidak dapat membuktikan perolehan harta kekayaannya, maka hal tersebut merupakan suatu petunjuk bahwa terdakwa memang telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya.

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kami sampaikan bahwa pembuktian terbalik berbeda dengan pembelaan yang merupakan hak terdakwa. Pembuktian terbalik merupakan kewajiban yang dibebankan kepada terdakwa.

    Selain itu, pembuktian terbalik berimplikasi terhadap hasil akhir dari pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan “secara terbalik”, maka hal tersebut menjadi suatu petunjuk bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan.

    Namun, patut dicatat bahwa menurut Pasal 37A ayat (3) UU 20/2001 ketentuan pembuktian terbalik tersebut merupakan tindak pidana atau perkara pokok dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU 31/1999 serta Pasal 5 s.d. Pasal 12 UU 20/2001, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

    Pembuktian terbalik juga diatur di dalam Pasal 12B UU 20/2001 tentang gratifikasi sebagai berikut:

    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
    2. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

    Baca juga: Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi

    Sama halnya dengan Pasal 37A UU 20/2001, Pasal 12B UU 20/2001 juga membebankan pembuktian penerimaan gratifikasi yang diduga sebagai tindak pidana suap kepada penerimanya.

    Apabila didakwa dengan Pasal 12B UU 20/2001, terdakwa perlu membuktikan bahwa gratifikasi yang diterimanya bukan merupakan suap yang berhubungan dengan jabatan, tugas, atau kewajibannya selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara.

    Pada intinya, pembuktian terbalik adalah sistem pembuktian yang digunakan dalam perkara tindak pidana korupsi dimana terdakwa diberikan kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya.

    Apabila terdakwa tidak dapat membuktikannya, maka hal tersebut menjadi suatu petunjuk bahwa terdakwa memang melakukan tindak pidana korupsi yang berimplikasi terhadap putusan yang akan dijatuhkan kepadanya.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    DASAR HUKUM

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    Referensi

    1. Andi Hamzah. Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2005;
    2. Mansur Kartayasa. Korupsi & Pembuktian Terbalik: Dari Perspektif Kebijakan Legislasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017.

    [1] Mansur Kartayasa. Korupsi & Pembuktian Terbalik: Dari Perspektif Kebijakan Legislasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Kencana, 2017, hal. 216

    [2] Andi Hamzah. Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara. Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal 84.

    Tags

    kuhap
    uu tipikor

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya

    21 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    dot
    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda di sini!