Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bolehkah Menyimpangi Hukum Islam agar Mendapat Warisan Lebih Banyak? yang dibuat oleh Ahmad Sadzali, Lc, M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 2 Juni 2020.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Hukum Waris bagi Orang Islam di Indonesia
Sebelum lahirnya UU 3/2006, di Indonesia terdapat pilihan hukum dalam penyelesaian waris bagi orang yang beragama Islam.
Hal ini sebagaimana dimuat dalam Paragraf Ketiga Angka 2 Penjelasan Umum UU 7/1989 yang menyatakan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum waris dalam Islam.
Kemudian, sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.[1]
Penjelasan inilah yang menjadi acuan konsep pilihan hukum dalam pembagian harta warisan bagi orang yang beragama Islam. Pilihan hukum sendiri muncul karena saat itu belum ada unifikasi di bidang hukum waris.
Pada saat itu, masih berlaku tiga sistem hukum waris, yaitu hukum waris menurut hukum perdata barat (peninggalan Belanda), hukum waris menurut hukum adat, dan hukum waris Islam.
Pilihan hukum tersebut merupakan perwujudan dari kehendak para pihak yang berperkara dalam pembagian warisan untuk menentukan hukum apa yang digunakan dalam penyelesaian sengketa waris yang akan diajukan ke pengadilan.
Menurut Abdul Gani Abdullah dalam Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama (hal. 52), asas pilihan hukum ini berguna untuk menghindarkan dari ketidaksepahaman atau ketidaksepakatan dalam menentukan hukum dan untuk tidak bergantung pada agama masing-masing.
Dengan demikian, para pihak yang berperkara bebas untuk memilih antara hukum perdata barat, hukum adat, ataupun hukum waris Islam. Sehingga pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan perkara waris bergantung pada hukum apa yang dipilih. Dengan kata lain, orang Islam dapat menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Negeri dengan berdasarkan KUH Perdata atau secara adat dengan menggunakan sistem hukum adat, ataupun di Pengadilan Agama berdasarkan hukum waris Islam.
Akan tetapi, setelah lahirnya UU 3/2006, asas pilihan hukum atau hak opsi tersebut dihapuskan. Di dalam Paragraf Kedua Penjelasan Umum UU 3/2006 dinyatakan bahwa:
“… kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.”
Dengan penghapusan pilihan hukum atau hak opsi tersebut, berarti penyelesaian sengketa atau perkara pembagian warisan bagi orang beragama Islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama dan diselesaikan berdasarkan hukum waris Islam.
Orang Islam tidak diperbolehkan lagi menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Negeri ataupun secara hukum adat.
Alternatif Solusi
Berdasarkan deskripsi permasalahan yang Anda sampaikan, bahwa ahli waris dari ayah Anda adalah ibu, anak perempuan (Anda), dan anak laki-laki. Kemudian, tujuan Anda sebenarnya adalah agar bagian waris untuk ibu Anda lebih besar daripada anak-anaknya, untuk menjamin kehidupannya. Atas permasalahan tersebut, maka ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai alternatif tawaran solusi, yaitu sebagai berikut:
Pertama, yang perlu diketahui bahwa salah satu asas dalam hukum waris Islam adalah asas ijbari (paksaan).
Sebagaimana diterangkan Aunur Rohim Faqih dan Ahmad Sadzali dalam Kaidah-Kaidah Hukum Islam (hal. 49), di dalam hukum Islam mengenai hukum waris terdapat kaidah hukum yang berbunyi: “Al-Istihqaq ka al-irtsi laa yasquthu bi al-isqath”, artinya: “Kepemilikan hak seperti warisan, tidak dapat gugur (meskipun) dengan digugurkan”.
Maksud dari kaidah tersebut adalah, jika seseorang mendapatkan hak berupa warisan, maka hak tersebut tidak dapat digugurkan oleh orang yang menerimanya, meskipun orang yang menerima hak tersebut menyatakan bahwa ia menggugurkan haknya itu. Artinya, hak tersebut tetap melekat pada penerimanya.
Kemudian, dalam lampiran KHI, serangkaian pasal-pasal di dalam Bab Hukum Kewarisan juga mengandung asas Ijbari. Pada Pasal 187 ayat (2) KHI secara tegas dikatakan:
Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta waris yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Sedangkan mengenai besarnya bagian waris bagi ahli waris diatur di dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 182 KHI.
Kedua, sebelum harta yang ditinggalkan ayah Anda itu berstatus menjadi harta waris dan siap dibagikan ke ahli waris, maka perlu juga dipastikan terkait dengan harta bersama antara ayah dan ibu Anda. Ketentuan mengenai harta bersama ini dapat merujuk pada Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 KHI.
Terutama, pada Pasal 96 ayat (1) KHI dikatakan bahwa:
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
Jika harta bersama antara ayah dan ibu Anda telah diselesaikan, maka selanjutnya juga harus dipastikan sudah ditunaikannya sejumlah kewajiban/keperluan sebelum harta peninggalan tersebut berubah menjadi harta waris.
Berdasarkan Pasal 171 huruf e KHI, harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
Adapun sebelum harta peninggalan itu dibagikan, ahli waris harus memenuhi kewajiban dari harta peninggalan tersebut, seperti: (a) biaya perawatan ketika sakit (jika sakit); (b) pengurusan jenazah; (c) pembayaran hutang; (d) serta pemberian untuk kerabat, termasuk dalam hal ini wasiat.
Setelah semua itu sudah dipastikan, maka selanjutnya dihitung bagian masing-masing dari ahli waris.
Kemudian, berdasarkan Pasal 180 KHI, ibu Anda mendapatkan bagian sebesar seperdelapan dari harta waris. Jika terdapat harta bersama antara ayah dan ibu Anda, maka ada kemungkinan bagian yang diperoleh oleh ibu Anda menjadi lebih besar, karena gabungan dari pembagian harta bersama dan bagian seperdelapan dari harta waris.
Sedangkan sisanya, merupakan bagian Anda dan saudara laki-laki Anda dengan komposisi dua bagi saudara laki-laki banding satu bagi saudara perempuan (Anda).
Dengan demikian, itulah hak warisan ibu, Anda dan saudara laki-laki Anda berdasarkan hukum waris Islam. Bagian-bagian ini harus diketahui oleh semua ahli waris, karena berdasarkan uraian di atas, bahwa asas kewarisan dalam Islam adalah asas Ijbari (paksaan).
Ketiga, jika setelah dilakukan pengurusan dan pembagian harta waris di atas, ternyata bagian ibu Anda masih lebih kecil dari bagian Anda dan saudara laki-laki Anda, sementara Anda dan saudara laki-laki Anda berkeinginan agar bagian warisan ibu lebih besar, hal tersebut tetap mungkin dilakukan.
Setelah semua bagian diketahui oleh semua ahli waris, Anda dan keluarga dapat bermusyawarah untuk memberikan bagian yang lebih besar kepada ibu Anda, sesuai dengan kesepakatan musyawarah.
Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 183 KHI yang menyatakan:
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Kemudian, agar memiliki kekuatan hukum, pembagian tersebut dilakukan di Pengadilan Agama dengan cara mengajukan permohonan. Inilah alternatif solusi atas permasalahan Anda.
Demikian jawaban dari kami mengenai pembagian waris berdasarkan hukum waris Islam sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
- Abdul Gani Abdullah. Dalam Sepuluh Tahun Undang-Undang Peradilan Agama. Jakarta: Ditbinbapera, 1999;
- Aunur Rohim Faqih dan Ahmad Sadzali. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2018.