Undang-Undang Advokat yang ada merupakan tameng untuk membatasi gerak firma-firma hukum asing dalam pengadaan jasa hukum di Indonesia. Mengapa keran untuk firma asing tidak dibuka saja, sehingga dapat dilihat firma domestik mana saja yang dapat bertahan dalam efisiensi kerja mereka? Menurut saya hal ini dapat memacu advokat-advokat untuk berpikiran ke depan (bagaimana menyesuaikan peranan jasa hukum dalam era pasar bebas), daripada masih bingung sendiri di kotak nol (penataan lembaga advokat Indonesia).
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Pasal 23 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyebutkan bahwa advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia. Sementara pasal 23 ayat (2) menyebutkan, kantor advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin pemerintah dengan rekomendasi organisasi advokat.
Ā
Meski UU Advokat secara tegas melarang advokat asing berpraktek di Indonesia, kecuali sebagai ahli dalam bidang hukum asing (pasal 23 ayat [2] UU Advokat). Tapi, ketentuan ini tidak bertentangan dengan aturan-aturan dan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO maupun Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947 atau GATTS. Selain itu ketentuan UU Advokat juga telah sesuai dengan pedoman International Bar Association (IBA).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ā
Menurut salah satu anggota Tim Ahli dalam penyusunan UU Advokat Frans Hendra Winarta, bunyi Pasal 23 UU Advokat itu dibuat dengan mengacu pada ketentuan yang ada dalam International Bar Association (IBA) mengenai konsultan hukum asing. Karena itu, menurut Frans, pembatasan mengenai advokat asing yang diatur dalam UU Advokat jelas tidak bertentangan dengan WTO dan GATTS.Ā Walaupun, WTO dan GATTS melarang proteksi terhadap barang dan jasa.
Ā
Untuk menghadapi WTO dan GATTS, pada 4 April 1996 IBA mengeluarkan proposal "Pedoman IBA untuk konsultan hukum asing/foreign legal consultant". Dalam pedoman itu dijabarkan mengenai prinsip dasar, definisi, izin, lingkup praktek, hak dan kewajiban, aturan tentang disiplin, masa berlakunya izin, dan lain-lain.
Ā
Dalam pedoman itu disebutkan bahwa konsultan hukum asing dapat memperoleh izin sebagai individu, anggota, seorang anggota atau asosiasi di suatu firma hukum di negara setempat atau sebagai karyawan di biro hukum suatu perusahan berdasarkan aturan tentang jasa hukum di negara tersebut.
Ā
Disebutkan pula, konsultan hukum asing tidak boleh berpraktek sebagai pembela di pengadilan atau sidang hukum lainnya dalam yurisdiksi negara yang dikunjungi. Mereka juga tidak boleh memberikan jasa mengenai hukum lokal negara tersebut. Mereka hanya dapat memberikan jasa hukum sepanjang mengenai hukum internasional atau hukum negara asing.
Ā
Karena itu, menurut Frans, negara-negara anggota WTO punĀ pun memberikan proteksi terhadap jasa hukum di negaranya sesuai dengan pedoman IBA. Walaupun, ada pula negara-negara yang tidak memberikan proteksi terhadap pengacara asing, misalnya Singapura.
Ā
Singapura memperbolehkan advokat asing memberikan konsultasi hukum yang berkaitan dengan hukum Singapura. Bahkan, kantor hukum asing diperkenankan untuk mendirikan law firm di sana dengan bekerja sama dengan kantor hukum lokal yang berbentuk joint law venture. Advokat asing di Singapura juga dapat berpraktek di pengadilan, setelah mendapat izin dari attonerney general. Demikian pandangan dari Frans Hendra Winarta.
Ā
Uraian selengkapnya dapat Anda simak di artikel āUU Advokat Tidak Bertentangan dengan WTOā serta artikel-artikel hukumonline.com lainnya mengenai advokat asing dan pemberlakuan AFTA di Indonesia.