Diberitakan ada kasus pemukulan pasutri oleh anggota Satpol PP saat razia PPKM dan saat ini oknum sudah dipenjara. Lalu lambat laun, pasutri itu ketahuan berbohong karena menyatakan bahwa istrinya hamil. Mengenai kebohongan istrinya hamil ini, adakah jerat hukumnya berdasarkan UU ITE atau KUHP?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Informasi bohong merupakan sebuah kebohongan yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik hal itu secara instrinsik ataupun ekstrinsik.
Namun jika ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya terkait kebohongan kehamilan ini lebih tepat apabila menggunakan pidana atas keterangan palsu/sumpah palsu jika keterangan kehamilan telah disampaikan di atas sumpah sebagaimana diatur Pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Pertama-tama, kami asumsikan bahwa pasangan suami istri itu telah memberikan informasi yang tidak sesuai dengan keadaan atau hal yang sebenarnya (informasi bohong).
Informasi bohong di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk arti yang diberikan pada istilah hoaks. Terkait hal ini, MacDougall memaparkan bahwa hoaks merupakan sebuah kebohongan yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik hal itu secara instrinsik ataupun ekstrinsik.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada dasarnya istilah hoaks tidak dikenal dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun demikian terdapat beberapa aturan terkait dengan penyebaran berita bohong, di antaranya sebagai berikut:
Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengajamenerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya 10 tahun.
Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya 3 tahun.
Pasal 15 UU 1/1946
Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 2 tahun.
Dengan melihat ketentuan di atas, maka dapat dipahami dapatnya dihukum seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong apabila ia dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Unsur keonaran merupakan suatu bahaya atau kerugian (harm) sebagai akibat dari penyiaran berita bohong, kabar angin atau kabar yang disiarkan dengan ditambahkan atau dikurangkan tersebut.
Keonaran adalah bukan hanya kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya, tapi lebih dari itu yakni berupa kekacauan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keonaran memiliki arti sebagai kegemparan, kerusuhan, keributan.
Sehingga apabila perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang menciptakan kegemparan atau kerusuhan atau keributan (keonaran) di dalam masyarakat dapat dijerat Pasal 14 UU 1/1946.
Berita Bohong yang Mengakibatkan Kerugian Transaksi Elektronik
Delik pidana di sini bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita bohong (hoaks) secara umum, melainkan perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring;
Berita atau informasi bohong dikirimkan atau diunggah melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (marketplace), iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik;
Bentuk transaksi elektronik bisa berupa perikatan antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen atau pembeli;
Tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau mengalami force majeur;
Merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya;
Definisi “konsumen” pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Ketentuan pidana atas pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.[2]
Kabar Bohong dalam KUHP
Kemudian, menyiarkan kabar bohong telah diatur dalam Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”), yang berbunyi sebagai berikut:
Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menerangkan terdakwa hanya dapat dihukum menurut pasal ini apabila ternyata kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian.[3]
Namun rumusan Pasal 390 KUHP tersebut perlu dipahami secara lengkap bahwa menyiarkan kabar bohong ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang.
Sebagaimana disarikan dari Sumpah Palsu dan Pembuktiannya, tindak pidana ini biasa disebut delik sumpah palsu/keterangan palsu sebagaimana diatur Pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP:
Barang siapa dalam hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberikan keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya 7 tahun.
Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Terkait pasal ini, R. Soesilo kembali menerangkan bahwa supaya dapat dihukum berdasarkan pasal ini maka terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi yakni:[4]
Keterangan harus alas sumpah.
Keterangan harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu.
Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.
Pasal untuk Menjerat Pasutri yang Berbohong Hamil
Jadi menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami perbuatan memberikan informasi bohong atas kehamilan sebagaimana Anda tanyakan tidak termasuk yang diatur dalam KUHP atau UU ITE. Sebab menurut UU ITE, berbohong terkait kehamilan tidak merugikan konsumen elektronik. Kemudian juga ketentuan Pasal 390 KUHP menurut kami tidak dapat dijatuhkan dalam kasus kebohongan kehamilan.
Akan tetapi, kami berpendapat pasal yang tepat untuk digunakan adalah Pasal 242 KUHP karena jika ia telah memberikan keterangan kehamilan itu di atas sumpah, berarti ia telah memberikan keterangan palsu.
Di sisi lain, jika kebohongan kehamilan itu diduga menerbitkan kegemparan, kerusuhan, keributan (keonaran) di masyarakat, pelaku bisa berpotensi dijerat menggunakan Pasal 14 UU 1/1946.