Pasal 1335 KUH Perdata mengatur tentang apa? Apa bunyi Pasal 1335 KUH Perdata?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya, perihal frasa batal demi hukum diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata, yaitu suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Lantas, apa yang dimaksud dengan frasa batal demi hukum dalam Pasal 1335 KUH Perdata?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganKonsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya, dalam suatu perjanjian sering kali memuat frasa “batal demi hukum”. Mengenai hal tersebut, dalam Pasal 1320 KUH Perdatadiatur mengenai syarat sahnya perjanjian yakni:
kesepakatan para pihak dalam perjanjian;
kecakapan para pihak dalam perjanjian;
suatu hal tertentu; dan
sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektifkarena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektifkarena menyangkut objek perjanjian. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam artikelBagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang apabila tidak terpenuhi dapat mengakibatkan kontrak/perjanjian dapat dibatalkan.[1] Sedangkan apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau null and void.[2]
Perihal frasa batal demi hukum ini diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.
Jadi, apabila kontrak/perjanjian tertentu objeknya tidak jelas atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan, maka kontrak tersebut batal demi hukum.[3]
Kemudian, secara yuridis, perjanjian yang batal demi hukum dianggap tidak pernah ada, tidak berlaku, dan tidak sah. Selain itu, tujuan dari perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan dianggap telah gagal. Sehingga, tidak ada dasar apapun bagi kedua pihak untuk saling menuntut di hadapan hakim.[4]
Lebih lanjut, Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam buku berjudul Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar suatu perjanjian dikategorikan batal demi hukum, antara lain (hal. 6-14):
batal demi hukum karena syarat perjanjian formil tidak terpenuhi;
batal demi hukum karena syarat objektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi;
batal demi hukum karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum;
batal demi hukum karena ada syarat batal yang terpenuhi.
Sebagai informasi, disarikan dari artikel Mengenal Frasa Demi Hukum dan Batal Demi Hukum, hal yang membedakan batal demi hukum dengan dapat dibatalkan adalah batal demi hukum dapat terjadi tanpa dimintakan pengesahan atau putusan dari pengadilan atau perjanjian tersebut batal dan dianggap tidak pernah ada. Kemudian, untuk dapat dibatalkan (dalam hal melanggar syarat subjektif), maka perjanjian tersebut baru akan dianggap batal dan tidak mengikat jika salah satu pihak meminta pembatalannya ke pengadilan.