KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Menikah Tanpa Cinta, Sahkah?

Share
Keluarga

Menikah Tanpa Cinta, Sahkah?

Menikah Tanpa Cinta, Sahkah?
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya seorang wanita berumur 18 tahun, suami saya 23 tahun. Saya dan suami saya menganut agama Islam. Saya sudah pisah ranjang dan tidak pernah diberi nafkah selama 2 tahun. Sejak awal pernikahan, saya sudah pisah ranjang dan belum siap untuk nikah. Saya juga menikah tanpa cinta dengan suami saya. Jadi saya ingin bercerai. Pertanyaan saya:

  1. Apakah bisa menikah tanpa cinta? Mohon dijelaskan menikah tanpa cinta menurut Islam dan hukum Indonesia.
  2. Apakah saya bisa gugat cerai karena tidak cinta?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Untuk melangsungkan suatu perkawinan, terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi agar perkawinan dianggap sah. Apakah cinta termasuk ke dalam syarat sah perkawinan? Lantas, apakah bisa menikah tanpa cinta?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca pada ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Sahkah Pernikahan Jika Tidak Cinta dengan Pasangan yang ditulis oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada 10 Maret 2014.

    KLINIK TERKAIT

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Dalam menjawab pertanyaan Anda, karena Anda dan suami Anda menganut agama Islam, maka kami merujuk UU Perkawinan dan perubahannya serta Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

    Sahkah Menikah Tanpa Cinta

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Sebelumnya perlu Anda, perlu diketahui bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]

    Selanjutnya, merujuk pada Pasal 2 UU Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Perkawinan juga harus memenuhi syarat subjektif, yaitu syarat yang melekat atau syarat yang ditujukan pada diri kedua calon mempelai.[2] Adapun syaratnya adalah sebagai berikut:

    1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.[3]
    2. Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.[4]
    3. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Dalam hal terjadi penyimpangan atas ketentuan umur ini, orang tua para pihak dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.[5]
    4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal telah memenuhi persyaratan untuk dapat berpoligami yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan.[6]
    5. Tidak menikahi orang yang telah diceraikan dua kali, sepanjang hukum agama atau kepercayaannya tidak menentukan lain.[7]
    6. Bagi seorang janda berlaku jangka waktu tunggu.[8]

    Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:[9]

    1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
    2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
    3. berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
    4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
    5. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
    6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

    Di samping itu, karena Anda dan suami Anda menganut agama Islam, maka kita merujuk pada ketentuan dalam KHI. Berdasarkan Pasal 14 KHI terdapat lima rukun perkawinan yang harus dipenuhi agar perkawinan sah, yaitu:

    1. calon suami;
    2. calon istri;
    3. wali nikah;
    4. dua orang saksi; dan
    5. ijab dan qabul.

    Baca juga: Hukum Akad Nikah Tanpa Adanya Wali dari Pihak Perempuan

    Mengenai calon mempelai, Pasal 15 ayat (1) KHI mengatur bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur seperti yang sudah diatur pada UU Perkawinan dan perubahannya.

    Selain itu, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) KHI perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan ini dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas.[10]

    Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, pada dasarnya perkawinan yang dilangsungkan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU Perkawinan dan hukum Islam. Jika merujuk penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menikah tanpa cinta menurut hukum Islam maupun UU Perkawinan sah-sah saja, selama ketentuan mengenai persyaratan pernikahan dipenuhi.

    Akan tetapi, jika diasumsikan Anda menikah karena dipaksa (mengingat Anda mengatakan Anda tidak cinta), maka Anda bisa saja melakukan pembatalan perkawinan. Penjelasan selengkapnya mengenai hal ini dapat Anda baca dalam artikel yang berjudul Konsekuensi Hukum Jika Menikah karena Terpaksa.

    Gugat Cerai Karena Menikah Tanpa Cinta

    Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 PP 9/1975 perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan sebagai berikut:

    1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
    3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
    5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
    6. antara suami dan istri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

    Adapun, terdapat dua alasan lain menurut Pasal 116 huruf g dan k KHI yaitu suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.

    Berdasarkan penjelasan di atas, menikah tanpa cinta dan pisah ranjang, dan tidak diberi nafkah tidak dapat dijadikan alasan untuk mengajukan perceraian.

    Akan tetapi, sering kali pisah ranjang tersebut diawali dengan adanya ketidakcocokan yang mengakibatkan suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi atau tidak dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dari perkawinan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 UU Perkawinan. Begitu pula, tidak adanya nafkah juga dapat memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Hal inilah yang pada akhirnya digunakan sebagai alasan untuk melakukan gugatan cerai ke pengadilan.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    DASAR HUKUM

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

    REFERENSI

    Ronald Saija dan Roger F. X. V. Letsoin. Buku Ajar Hukum Perdata. Sleman: DEEPUBLISH, 2021.

    [1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

    [2] Ronald Saija dan Roger F. X. V. Letsoin. Buku Ajar Hukum Perdata. Sleman: DEEPUBLISH, 2021, hal. 14-15

    [3] Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan

    [4] Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan

    [5] Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    [6] Pasal 9 UU Perkawinan

    [7] Pasal 10 UU Perkawinan

    [8] Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”)

    [9] Pasal 8 UU Perkawinan

    [10] Pasal 16 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda