Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Namun, berdasarkan penelusuran kami, chipadalah alat pendeteksi keberadaan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Demikian antara lain informasi yang kami dapatkan dari Majalah Info Singkat Hukum Dewan PerwakilanRakyat (DPR): Kontroversi Ancaman Hukuman Kebiri dalam Perppu No. 1 Tahun 2016 Vol. VIII, No. 11/I/P3DI/Juni/2016 (hal. 2) yang kami akses dari laman Dewan Perwakilan Rakyat(“Majalah DPR”).
Perlindungan Khusus Bagi Anak Korban Kejahatan Seksual
UU 23/2012 mengatur mengenai perlindungan anak dari kekerasan seksual. Secara khusus, Pasal 1 angka 16 UU 35/2014 berbunyi:
Kekerasan adalah setiap perbuatanterhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Lebih lanjut, pada Pasal 15 huruf f UU 35/2014 juga telah ditegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Bahkan dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf j UU 35/2014 pun memberikan perlindungan khusus kepada anak dari kejahatan seksual. Perlindungan khusus bagi anak tersebut dilakukan melalui upaya:[1]
penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Pemasangan Chip bagi Pemerkosa Anak
Menjawab pertanyaan Anda, Pasal 76D dan Pasal 76E UU 35/2014 menyatakan bahwa:
Pasal 76D UU 35/2014
Setiap Orang dilarang melakukanKekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
Pasal 76E UU 35/2014
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Terhadap pelanggaran Pasal 76D UU 35/2014, ketentuan pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku adalah Pasal 81 ayat (7) Perppu 1/2016. Sementara itu, terhadap pelanggaran Pasal 76E UU 35/2014, ketentuan pidana yang dapat dikenakan adalah Pasal 82 ayat (6) Perppu 1/2016. Pasal 81 ayat (7) Perppu 1/2016 menyatakan bahwa:
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Sementara itu, ketentuan pidana yang terkandung dalam Pasal 82 ayat (6) adalah:
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik
Pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam ketentuan Pasal 81 ayat (7) dan Pasal 82 ayat (6) Perppu 1/2016 hanya dapat dikenakan kepada:[2]
Pelaku merupakan orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama;
Pelaku tersebut sebelumnya telah dipidana karena tindak pidana dalam Pasal 76D UU 35/2014 atau Pasal 76E UU 35/2014; dan
Pelaku menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Di samping pemasangan cip, pelaku dijatuhi pidana pokok berupa penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp.5 miliar jika melanggar ketentuan Pasal 76D UU 35/2014.[3] Ketentuan pidana ini juga berlaku bagi orang yang melanggar ketentuan Pasal 76E UU 35/2014.[4]
Kedudukan Hukum Pemasangan Chip
Pada Penjelasan Pasal 81 ayat (7) Perppu 1/2016 dinyatakan bahwa:
Pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam ketentuan ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana.
Menurut hemat kami, bunyi penjelasan tersebut sejalan dengan istilah yang digunakan dalam ketentuan pemasangan chip yang telah dijelaskan di atas, yaitu “tindakan”. Menurut Marcus Priyo Gunarto dalam artikel Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan Pemidanaan, tindakan atau maatregel merupakan bagian dari sanksi pidana yang bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan (hal.99) yang bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawat si pelaku yang bersangkutan (hal.100). Tindakan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah (hal. 100).
Sebagai informasi tambahan untuk Anda,bersumber dari Majalah DPR hal. 2, beberapa kalangan berpendapat hukuman tersebut layak dikenakan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, karena penderitaan dan dampak yang dirasakan oleh korban sangat besar. Sementara kalangan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) keberatan dengan materi ancaman pidana di dalam Perppu 1/2016 tersebut, khususnya mengenai pengenaan ancaman pidana hukuman mati dan tindakan kebiri kimia yang dianggap bertentangan dengan HAM.