Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Masihkah Dituntut Jika Telah Kembalikan Uang yang Digelapkan? yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 11 Juni 2011.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Apa itu Penggelapan?
Sebelum menjawab inti dari pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penggelapan. Dalam KBBI, penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan), korupsi.
Sedangkan dalam pengertian lain, apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena tindak pidana, tetapi karena suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang dan sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk dirinya sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan penggelapan.[1]
Jenis-jenis Penggelapan
Berdasarkan KUHP, tindak pidana penggelapan dikategorikan menjadi penggelapan biasa, penggelapan ringan, penggelapan dengan pemberatan dan penggelapan dalam keluarga. Kategori tindak pidana penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 s.d. 375 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 486 s.d. Pasal 489 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026.
Penggelapan biasa diatur dalam bunyi pasal berikut ini:
Pasal 372 KUHP | Pasal 486 UU 1/2023 |
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[3] | Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4] |
Sedangkan penggelapan ringan diatur dalam pasal yang berbunyi:
Pasal 373 KUHP | Pasal 487 UU 1/2023 |
Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp250 ribu.[5] | Jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1 juta, setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[6] |
Kemudian untuk penggelapan dengan pemberatan diatur dalam beberapa pasal berikut ini:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 374 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. | Pasal 488 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[7] |
Pasal 375 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. | Pasal 489 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang menerima barang dari orang lain yang karena terpaksa menyerahkan barang padanya untuk disimpan atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap barang yang dikuasainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[8] |
Unsur-unsur Penggelapan
Menurut P.A.F. Lamintang dalam bukunya berjudul Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, tindak pidana penggelapan sebagaimana Pasal 372 KUHP di dalamnya mengandung unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut (hal. 105):
- unsur subjektif, yaitu dengan sengaja;
- unsur objektif:
- menguasai secara melawan hukum;
- suatu benda;
- sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; dan
- berada padanya bukan karena kejahatan.
Baca juga: Bunyi Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Unsurnya
Delik Biasa dengan Delik Aduan
Kemudian yang perlu Anda ketahui selanjutnya adalah mengenai delik biasa dan delik aduan. Menurut P.A.F. Lamintang, delik biasa adalah delik yang pelakunya dapat dituntut menurut hukum pidana tanpa perlu adanya pengaduan. Sedangkan delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Adapun delik aduan dibagi menjadi dua yaitu delik aduan absolut dan delik aduan relatif.[9]
Merujuk pada pertanyaan tentang teman Anda yang dituntut oleh perusahaan karena kasus penggelapan yang memang pernah dilakukannya, perbuatan ini merupakan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 374 KUHP atau Pasal 488 UU 1/2023, yang termasuk tindak pidana penggelapan dengan pemberatan.
Kemudian meskipun sudah ada iktikad baik dari tersangka untuk mengembalikan sebagian dari dana yang digelapkan, tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh teman Anda merupakan delik biasa yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya. Serta pengembalian sejumlah uang yang dilakukan teman Anda tidak memenuhi alasan penghapusan penuntutan.
Perihal alasan penghapusan penuntutan atau hapusnya hak menuntut diatur ketentuan sebagai berikut:[10]
- Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, sehingga orang tidak boleh dituntut dua kali;[11]
- Tersangka atau terdakwa meninggal dunia;[12]
- Daluwarsa tindak pidana;[13]
- Penyelesaian di luar pengadilan untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja paling banyak kategori II,;[14]
- Maksimum pidana denda kategori IV dibayar sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
- Ditariknya pengaduan bagi tindak pidana aduan;
- Telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam undang-undang; atau
- Diberikannya amnesti atau abolisi.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Referensi:
- Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Jakarta: Bayu Media, 2006;
- P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009;
- P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013;
- Penggelapan, yang diakses pada 3 Juni 2024, pukul 13.00 WIB.
[1] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Jakarta: Bayu Media, 2006, hal.73
[4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023
[6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
[7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023
[8] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023
[9] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013, hal. 207
[10] Pasal 132 ayat (1) UU 1/2023
[13] Pasal 78 ayat (1) KUHP atau Pasal 136 UU 1/2023