Saya memiliki hubungan dengan seorang perempuan bernama X. Saya dan X berpacaran dan akhirnya melakukan hubungan suami istri sehingga X hamil. Sementara, X sudah punya suami, dan saya tidak diperbolehkan mengakui anak yang dikandung X.
Pertanyaannya, bagaimana caranya saya mengakui anak saya kelak?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
ZinaĀ adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Pelaku perzinaan dapat dipidana berdasarkan Pasal 284 KUHPlama dan juga berdasarkan Pasal 411UU 1/2023.
Lantas, apakah anak hasil zina atau dapat diakui? Jika bisa, apa dasar hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat olehĀ Diana Kusumasari, S.H., M.H.pada Kamis, 09 Juni 2011, dan dimutakhirkan pada Senin, 16 Januari 2017 olehTri Jata Ayu Pramesti, S.H.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama danĀ UU 1/2023 tentangĀ KUHPĀ yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganKonsultan Mitra Justika.
Tindak Pidana Zina
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dari penjelasan Anda, kami dapat simpulkan bahwa hubungan yang Anda lakukan dengan wanita (pacar) yang telah bersuami dikategorikan sebagai zina. R. SoesiloĀ dalam bukunyaĀ yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud denganĀ zinaĀ adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. Supaya masuk dalam pasal perzinaan, maka persetubuhan harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak (hal. 209).
Pelaku perzinaan dapat dipidana berdasarkan Pasal 284KUHPlama yang saat artikel ini terbit masih berlaku dan juga berdasarkan KUHP baru yaituĀ Pasal 411UU 1/2023Ā yang berlaku 3 tahun setelah diundangkan.[1]Berikut adalah bunyi pasalnya:
Pasal 284 KUHP
Pasal 411 UU 1/2023
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuiĀ olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidurmenjadi tetap.
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[2]
Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Pasal 284 KUHP menggambarkan bahwa pidana perzinaan adalah delik aduan absolut. Artinya, pelaku tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan.[3]Sehingga, menurut hemat kami, dalam hal ini apabila suami dari X mengadukan Anda dan/atau istrinya kepada polisi, Anda dan/atau X dapat dituntut karena melakukan tindak pidana perzinaan.
Berdasarkan sifatnya, rumusan delik perzinaan dalam UU 1/2023 juga merupakan delik aduan absolut. Namun, yang membedakan adalah subjek yang berhak mengadu dalam KUHP baru diperluas, sehingga yang berhak mengadukan delik perzinaan adalah suami, istri, orang tua, atau anaknya yang dirugikan.[4]
Selain itu, dikutip dari artikelBisakah Dipenjara karena Berhubungan Seks dengan Pacar?, KUHP lama mensyaratkan tindak pidana perzinaan dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah, tapi dalam KUHP baru, perzinaan dapat dijerat kepada pria dan wanita yang belum menikah.
Terkait dengan keinginan Anda untuk mengakui anak tersebut, sebenarnya memang sudah menjadi hak anak tersebut untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UUPAdan Pasal 56 ayat (1)UU HAM.Ā
Hanya saja, menurut hemat kami, Anda belum tentu ayah biologis dari bayi yang sedang dikandung oleh pacar Anda mengingat statusnya yang masih memiliki suami. Kecuali hal tersebut telah dibuktikan dengan hasil pemeriksaan secara medis. Jika menurut hasil pemeriksaan medis diketahui bahwa Anda adalah ayah biologis dari anak yang dikandung pacar Anda, maka status anak tersebut adalahĀ anak luar kawin.
Terkait anak luar kawin, Ā Pasal 43 ayat (1)Ā UU PerkawinanĀ mengatur tentang anak luar kawin sebagai berikut:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Lebih lanjut, terdapat perkembangan baru mengenai Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan melaluiĀ Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010Ā yangĀ menyatakan:
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikatĀ sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yangĀ dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alatĀ bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagaiĀ ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, āAnak yang dilahirkan di luarĀ perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunyaĀ serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmuĀ pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyaiĀ hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnyaā.
Artinya, anak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya juga jika dapat dibuktikan baik berdasarkan ilmu pengetahuan (hasil pemeriksaan medis misalnya) atau secara hukum, yakni dengan melalui penetapan pengadilan.
Ketentuan selengkapnya mengenai pengakuan anak luar kawin dapat Anda temukan pada Psal 280 s.d. Pasal 289KUHPer. Adapun Pasal 281 KUHPer secara tersirat menyebutkan 3 (tiga) cara untuk mengakui anak luar kawin, yaitu:[5]
Dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan, yaitu pengakuan oleh seorang ayah yang namanya disebutkan dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan.
Dalam akta perkawinan yang ada, yaitu melaksanakan perkawinan sah antara wanita yang hamil dengan pria yang membuahinya, sekaligus mengakui anak luar kawin atau zina yang sudah dilahirkan dan pada waktu melaporkan kelahiran belum diberikan pengakuan oleh ayahnya.
Dalam akta autentik, yaitu pengakuan yang dituangkan dalam akta autentik berupa akta notaris, dan ditindaklanjuti dengan melaporkan kepada Kantor Catatan Sipil dimana kelahiran anak itu dahulu telah didaftarkan dan minta agar pengakuan itu dicatat dalam minuta akta kelahiran yang bersangkutan.
Kesimpulannya, anak yang dilahirkan di luarĀ perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunyaĀ serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmuĀ pengetahuan atau secara hukum, yakni melalui penetapan pengadilan. Dengan demikian, jika benar Anda adalah ayah biologis dari anak yang dikandung pacar Anda, Anda dapat mengakui anak tersebut.Ā
Contoh Kasus
Sebagai contoh, Anda dapat lihat dalamĀ Putusan PN Tulungagung 12/PDT.P/2016/PN.TLG.Ā Pada kasus ini, Pemohon (pria) telah melakukan hubungan layaknya suami istri dengan pasangannya hingga hamil. Namun, Pemohon dan pasangannya belum melakukan perkawinan secara resmi menurut ketentuan hukum yang berlaku hingga anak tersebut lahir.Ā
Setelah anak tersebut lahir, Pemohon dan pasangannya baru bisa melaksanakan perkawinan secara sah dan resmi di KUA (āKantor Urusan Agamaā). Kemudian, Pemohon mengajukan permohonan tentang penetapan pengesahan pengakuan anak luar kawin di Pengadilan Negeri Tulungagung. Sebagaimana dikehendaki dalam ketentuan Pasal 284 KUHPer, pengakuan anak ini telah pula disetujui oleh isteri Pemohon yang tidak lain adalah ibu kandung dari anak dimaksud. Secara biologis, anak tersebut adalah anak dari Pemohon, dan Pemohon juga telah mengerti tentang akibat hukum dari permohonan pengesahan pengakuan anak ini sebagaimana ditentukan dalam pasal 282 KUHPer, yakni anak yang telah diakui tersebut berhak atas warisan dari ayahnya (Pemohon). Sehingga, Pengadilan mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan sah pengakuan anak luar kawin yang dilakukan Pemohon.
Lukman Hakim. Kedudukan Anak Hasil Zina ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No. 2, 2017
Miftahul Jannah Matondang (et.al). Delik Zina dalam Perspektif Hukum Islam, KUHP, dan RKUHP. Landraad: Jurnal Syariah dan Hukum Bisnis, Vol. 1, No. 2, 2022
Putu Ari Sujaneka dan A.A. Ngurah Wirasila. Analisis Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perzinahan dalam Perspektif KUHP. Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol. 4, No. 1, 2016;
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1995.
[3] Ā Putu Ari Sujaneka dan A.A. Ngurah Wirasila. Analisis Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perzinahan dalam Perspektif KUHP. Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol. 4, No. 1, 2016, hal. 03.
[4] Miftahul Jannah Matondang (et.al). Delik Zina dalam Perspektif Hukum Islam, KUHP, dan RKUHP. Landraad: Jurnal Syariah dan Hukum Bisnis, Vol. 1, No. 2, 2022, hal. 136.
[5] Lukman Hakim. Kedudukan Anak Hasil Zina ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jurnal De Lega Lata, Vol. 1, No. 2, 2017, hal. 402-403.