Benarkah jamur api tidak boleh dimasukkan dalam bahan makanan dan dalam informasi komposisi makanan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)? Di beberapa daerah tidak membolehkan hal itu. Tolong penjelasannya.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Jamur api atau dalam bahasa latin adalah Claviceps adalah jenis jamur yang terutama hidup sebagai parasit pada bulir padi-padian atau tebu dan tumbuh seperti rumput. Jamur api penyebab penyakit ergot pada tanaman gandum. Jika gandum yang berpenyakit ini dimakan oleh hewan atau manusia, dapat menimbulkan penyakit ergotisma.
Pada dasarnya, orang yang memproduksi pangan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan. Dalam label makanan tersebut di antaranya memuat informasi mengenai bahan makanan yang digunakan.
Penjelasan lebih lanjut, dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini
ULASAN LENGKAP
Intisari:
Jamur api atau dalam bahasa latin adalah Claviceps adalah jenis jamur yang terutama hidup sebagai parasit pada bulir padi-padian atau tebu dan tumbuh seperti rumput. Jamur api penyebab penyakit ergot pada tanaman gandum. Jika gandum yang berpenyakit ini dimakan oleh hewan atau manusia, dapat menimbulkan penyakit ergotisma.
Pada dasarnya, orang yang memproduksi pangan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan. Dalam label makanan tersebut di antaranya memuat informasi mengenai bahan makanan yang digunakan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Definisi Jamur Api
Menurut Nurul Amaliyah dalam bukunya Penyehatan Makanan dan Minuman - A (hal. 82), Jamur api atau dalam bahasa latin adalah Claviceps adalah jenis jamur yang terutama hidup sebagai parasit pada bulir padi-padian atau tebu dan tumbuh seperti rumput. Jamur api juga nama umum parasit anggota Ustilaginales yang menyebabkan bagian inang yang diserangnya menjadi hangus seperti terbakar. Jamur api penyebab penyakit ergot pada tanaman gandum. Jika gandum yang berpenyakit ini dimakan oleh hewan atau manusia, dapat menimbulkan penyakit ergotisma. Gejalanya adalah kejang otot dan kelumpuhan.
Pemberian Label Pangan
Pada dasarnya, setiap orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 97 ayat (1)Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (“UU Pangan”).
Pemberian label Pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelaskepada masyarakat tentang setiap produk Pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi Pangan.[1] Informasi yang dimaksud adalah informasi terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan.[2]
Selain itu, setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3]
Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:[4]
nama produk;
daftar bahan yang digunakan;
berat bersih atau isi bersih;
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;
halal bagi yang dipersyaratkan;
tanggal dan kode produksi;
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan
asal usul bahan Pangan tertentu
Keterangan pada label ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat.[5]
Jadi bagi orang yang memproduksi pangan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan. Dalam label makanan tersebut di antaranya memuat informasi mengenai daftar bahan makanan yang digunakan.
Larangan Penggunaan Jamur Api Sebagai Bahan Baku Makanan
Bahan Baku yang dapat mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan; dan/atau
Bahan Baku yang mengandung narkotika, psikotropika, nikotin, tumbuhan yang dilindungi, dan/atau satwa yang dilindungi.
Bahan Baku yang dilarang dalam PBPOM 7/2018 ini meliputi bahan atau senyawa baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang berasal dari sumber hayati dan/atau sintetik.[6]
Jenis Bahan Baku yang dilarang tercantum dalam Lampiran PBPOM 7/2018 ini. Bahan-bahan yang dilarang salah satunya adalah jamur api atau dengan nama/spesies Claviceps purpurea. Bagian yang dilarang untuk jamur api adalah pada seluruh bagiannya.[7]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan PBPOM 7/2018, memang benar bahwa jamur api tidak boleh digunakan sebagai bahan baku pangan olahan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (“BPOM”). Alasannya, karena jamur api itu merupakan jenis jamur yang terutama hidup sebagai parasit serta dapat menyebabkan penyakit ergot pada tanaman gandum yang jika gandum yang berpenyakit ini dimakan oleh hewan atau manusia, dapat menimbulkan penyakit ergotisma. Gejalanya adalah kejang otot dan kelumpuhan. Oleh karena itu dapat mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kesehatan manusia.
Larangan Menjual Makanan yang Mengandung Bahan Baku Berbahaya
Setiap orang dilarang mengedarkan pangan tercemar. Pangan tercemar berupa pangan yang:[8]
mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;
mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan;
mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai;
pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;
pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan;
pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia; atau
pangan yang sudah kedaluwarsa.
Sanksi Bagi Penjual Makanan Berbahan Baku Berbahaya
Setiap Orang yang melanggar ketentuan mengenai pengedaran pangan tercemar yakni pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat membahayakan kesehatan atau jiwa manusia, dikenai sanksi administratif.[10] Sanksi administratif tersebut berupa:[11]
denda;
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
ganti rugi; dan/atau
pencabutan izin.
Selain itu, dapat juga dihukum pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) diatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.[12] Yang mana untuk makanan dan minuman sudah ada standar keamanan pangan dan mutu pangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam Pasal 86 ayat (2) UU Pangan. Jadi, jika penjual menjual makanan yang tidak memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan, maka ia melanggar juga ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Perlindungan Konsumen tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.[13]