Pelaksanaan program PTSL di Desa Pepelegi, Waru, Sidoarjo, kami dipersulit oleh lurah/kepala desa. Hal ini bermula dari KTP kami yang beralamatkan di Surabaya, namun objek tanah kami di lokasi desa tersebut. Dengan dalih kami tidak ber-KTP setempat, lurah/kepala desa tidak memperbolehkan kami mengikuti program PSTL. Pertanyaannya, apakah sikap lurah tersebut dibenarkan secara hukum? Mengingat syarat program PTSL adalah WNI tanpa ada spesifikasi khusus.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Kepala kantor pertanahan menetapkan lokasi penyebaran target Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (“PTSL”) yang dikonsentrasikan pada beberapa desa/kelurahan dan/atau kecamatan. Dalam hal lokasi yang ditetapkan terdiri dari beberapa kelurahan, diupayakan agar kelurahan yang menjadi objek PTSL letaknya berdekatan. Maka, tidak semua kelurahan menjadi objek PTSL.
Sementara itu, apabila Anda keberatan atas suatu keputusan dalam proses permohonan PTSL, Anda dapat mengajukan upaya administratif, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Anda juga dapat melapor kepada Ombudsman atas adanya dugaan maladministrasi berupa pengabaian dalam penyelenggaraan pelayanan publik jika Anda tidak kunjung menerima keputusan penolakan tersebut.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Perlu dipahami, berlakunya Permen ATR/BPN 6/2018 dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan PTSL yang dilaksanakan desa demi desa di wilayah kabupaten dan kelurahan demi kelurahan di wilayah perkotaan yang meliputi semua bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia.[2]
PTSL meliputi seluruh objek pendaftaran tanah di Indonesia tanpa terkecuali, baik bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak yang memiliki hak dalam rangka memperbaiki kualitas data pendaftaran tanah.[3]
Selain itu, objek PTSL juga meliputi bidang tanah yang sudah ada tanda batasnya maupun yang baru akan ditetapkan tanda batasnya kemudian.[4]
Pelaksanaan kegiatan PTSL dilakukan dengan tahapan:[5]
perencanaan;
penetapan lokasi;
persiapan;
pembentukan dan penetapan panitia ajudikasi PTSL dan satuan tugas;
penyuluhan;
pengumpulan data fisik dan pengumpulan data yuridis;
penelitian data yuridis untuk pembuktian hak;
pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya;
penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian hak;
pembukuan hak;
penerbitan sertifikat hak atas tanah;
pendokumentasian dan penyerahan hasil kegiatan; dan
pelaporan.
Lokasi Kegiatan PTSL
Perlu Anda pahami, dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelaksanaan PTSL secara bertahap:[6]
Kepala kantor pertanahan menetapkan lokasi penyebaran target PTSL yang dikonsentrasikan pada beberapa desa/kelurahan dan/atau kecamatan; dan
Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional menetapkan lokasi penyebaran target PTSL yang dikonsentrasikan pada beberapa kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Kepala Kantor Pertanahan menetapkan lokasi kegiatan PTSL di wilayah kerjanya dengan ketentuan:[7]
berdasarkan ketersediaan anggaran PTSL yang telah dialokasikan dalam APBN/APBD, penerimaan negara bukan pajak, Corporate Social Responsibility (“CSR”) atau sumber dana PTSL lainnya;
diprioritaskan pada lokasi desa/kelurahan yang ada kegiatan program nasional/program daerah, lintas sektor, sertifikat massal swadaya, CSR dan/atau program pendaftaran tanah massal lainnya, atau berdasarkan ketersediaan dana yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk 1 desa/kelurahan PTSL; dan
mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia/petugas pelaksana PTSL pada masing-masing kantor pertanahan.
Dalam hal lokasi yang ditetapkan terdiri dari beberapa desa/kelurahan, diupayakan agar desa/kelurahan yang menjadi objek PTSL letaknya berdekatan.[8]
Namun dalam keadaan tertentu, kepala kantor pertanahan dapat melakukan perubahan lokasi PTSL yang sudah ditetapkan,[9] sehingga, menurut hemat kami, tidak semua kelurahan menjadi objek PTSL.
Dengan demikian, pelaksanaan PTSL memang dikonsentrasikan pada beberapa kelurahan yang ditetapkan oleh kantor pertanahan.
Maka, Anda harus memastikan kembali bahwa kelurahan tempat tinggal Anda adalah benar kelurahan yang dijadikan objek PTSL.
Tugas Lurah dalam PTSL
Kepala kantor pertanahan membentuk dan menetapkan, salah satunya, panitia ajudikasi PTSL yang dituangkan dalam bentuk keputusan, yang terdiri atas:[10]
ketua merangkap anggota, yang dijabat oleh pegawai kantor pertanahan;
wakil ketua bidang fisik merangkap anggota, yang dijabat oleh pegawai kantor pertanahan yang memahami urusan infrastruktur pertanahan;
wakil ketua bidang yuridis merangkap anggota, yang dijabat oleh pegawai kantor pertanahan yang memahami urusan hubungan hukum pertanahan;
sekretaris, yang dijabat oleh pegawai kantor pertanahan;
kepala desa/kelurahan setempat atau pamong desa/kelurahan yang ditunjuknya; dan
anggota dari unsur kantor pertanahan, sesuai kebutuhan.
Maka, lurah/kepala desa yang Anda maksud mengemban tugas sebagai bagian dari panitia ajudikasi PTSL yang melaksanakan PTSL.
Selanjutnya, panitia ajudikasi PTSL mempunyai tugas:[11]
menyiapkan rencana kerja dan jadwal kegiatan PTSL;
mengumpulkan data fisik dan dokumen asli data yuridis semua bidang tanah yang ada di wilayah yang bersangkutan serta memberikan tanda penerimaan dokumen kepada pemegang hak atau kuasanya;
memberikan asistensi terhadap kelengkapan persyaratan bukti kepemilikan/penguasaan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memeriksa kebenaran formal data fisik dan data yuridis alat bukti kepemilikan atau penguasaan tanah;
mengumumkan data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah yang sudah dikumpulkan;
memfasilitasi penyelesaian sengketa antara pihak-pihak yang bersangkutan mengenai data yang disengketakan;
mengesahkan hasil pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf e, sebagai dasar pembukuan hak atau pengusulan pemberian hak serta pendaftaran hak;
menyampaikan laporan secara periodik dan menyerahkan hasil kegiatan kepada kepala kantor pertanahan; dan
melakukan supervisi pelaksanaan dan hasil pekerjaan satgas fisik dan satgas yuridis.
Dalam melaksanakan pengukuran bidang tanah, satgas fisik harus mengetahui data atau informasi tentang masing-masing pemilik atau pihak yang berhak atas tanahnya, paling sedikit berupa fotokopi KTP/Kartu Keluarga/surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang.[12]
Jika bukti kepemilikan tanah masyarakat tidak lengkap atau tidak ada sama sekali, maka dapat dilengkapi dan dibuktikan dengan surat pernyataan tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan fisik bidang tanah dengan itikad baik oleh yang bersangkutan.[13]
Itikad baik dibuktikan dengan pernyataan pemohon/peserta ajudikasi PTSL yang menyatakan:[14]
tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki atau tidak dalam keadaan sengketa; dan
tidak termasuk atau bukan merupakan:
aset pemerintah, pemerintah daerah, atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; atau
kawasan hutan.
Surat pernyataan tersebut dibuat dengan ketentuan:[15]
disaksikan paling sedikit oleh 2 orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar sebagai pemilik dan yang menguasai bidang tanah tersebut; dan
dibuat berdasarkan keterangan yang sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana, dan apabila di kemudian hari terdapat unsur ketidakbenaran dalam pernyataannya bukan merupakan tanggung jawab panitia ajudikasi PTSL.
Warga masyarakat yang dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dapat mengajukan upaya administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan keputusan.[16] Upaya administratif tersebut terdiri dari:[17]
keberatan; dan
banding.
Keputusan dapat diajukan keberatan secara tertulis kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menetapkannya dalam waktu paling lama 21 hari sejak diumumkannya keputusan tersebut.[18]
Jika Anda tidak menerima penyelesaian keberatan, maka selanjutnya dapat mengajukan banding kepada atasan pejabat yang menetapkan keputusan tersebut secara tertulis dalam waktu paling lama 10 hari kerja sejak keputusan upaya keberatan diterima.[19]
Kemudian, jika Anda masih tidak menerima penyelesaian banding, maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.[20]
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
Pengaduan atas Maladministrasi
Selain itu, apabila keputusan penolakan tidak kunjung Anda terima atau Anda dipersulit/diabaikan oleh lurah, maka hal ini berpotensi menjadi maladministrasi.
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Atas dugaan tersebut, artikel Cara Melaporkan Maladministrasi ke Ombudsman menerangkan bahwa Anda dapat melaporkannya kepada Ombudsman, baik dengan mendatangi kantor Ombudsman secara langsung atau menyampaikan pengaduan secara daring melalui laman Ombudsman menggunakan formulir pengaduan yang dipersyaratkan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang–Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang–Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap