Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Saat ini Indonesia dan negara-negara lain di dunia memang sedang dilanda wabah COVID-19 yang mempengaruhi seluruh kegiatan masyarakat, sehingga tidak bisa terlaksana dengan normal.
Sebagai akibatnya, banyak sektor usaha yang tidak dapat menjalankan operasional dan melakukan pengurangan tenaga kerja dengan merumahkan pekerja/buruhnya ataupun Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dengan alasan pengusaha mengalami kerugian secara terus menerus sebagai dampak dari pandemi COVID-19 dan melakukan PHK atas dasar keadaan memaksa (
force majeure).
[1]
Namun sebelum membahas lebih lanjut mengenai tindakan pengusaha merumahkan pekerja/buruh dan PHK, terlebih dahulu akan dibahas mengenai jenis hubungan kerja antara Anda dengan pengusaha.
Hubungan Kerja
Patut diperhatikan bahwa dalam artikel
Kedudukan Hukum Karyawan BUMN, ketentuan seputar ketenagakerjaan Badan Usaha Milik Negara juga tunduk pada UU 13/2003.
Dalam pertanyaan Anda dengan jelas disampaikan bahwa Anda berstatus sebagai pekerja/buruh tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), hanya saja perjanjian kerja tersebut ditandatangani setiap 5 tahun.
Kami harus luruskan bahwa secara hukum,
sesuai dengan namanya, masa berlaku PKWTT tidak terbatas, dan otomatis berakhir ketika pekerja/buruh memasuki masa pensiun atau meninggal dunia saat masa aktif,[2] sehingga tidak perlu dilakukan penandatanganan perjanjian setiap 5 tahun sekali sebagaimana yang Anda lakukan dengan pihak pengusaha.
Dalam praktiknya, sistem yang Anda maksud bertujuan agar pengusaha terhindar dari pembayaran hak-hak normatif pekerja/buruh apabila sewaktu-waktu perusahan melakukan PHK secara sepihak atau ketika pekerja/buruh memasuki usia pensiun.
Selain itu, dalam hubungan kerja PKWTT, antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak diharuskan menandatangani perjanjian kerja secara tertulis.
Jika tidak dibuat secara tertulis, perusahaan wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh tetap secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan nama dan alamat pekerja/buruh, tanggal mulai bekerja, jenis pekerjaan dan besarnya upah kerja, sehingga klausul-klausul mengikat dan berlaku di antara kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja/buruh).
[3]
Hak Pekerja/Buruh yang Dirumahkan
Dalam pertanyaan Anda disebutkan bahwa Anda ‘ditelantarkan’ atau tidak dipekerjakan selama 1 bulan berkaitan dengan penyebaran COVID-19, sehingga kami mengasumsikan bahwa Anda sedang dirumahkan oleh pengusaha.
Melalui surat edaran tersebut, Gubernur tiap provinsi diminta untuk melaksanakan pelindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi COVID-19:
[4]Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan terkait COVID-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.
Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Bagi pengusaha yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila saat ini pengusaha merumahkan Anda, maka pembayaran upah dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan para pekerja/buruh dan tidak boleh berdasarkan perbuatan sepihak pengusaha.
Upaya Hukum
Apabila kemudian terdapat permasalahan mengenai tindakan pengusaha yang merumahkan Anda, pembayaran upah selama dirumahkan, kebijakan usia pensiun yang berubah, atau mengenai PHK, maka Anda dapat melakukan perundingan bipartit dengan pengusaha untuk mencari
win-win solution atau solusi terbaik.
[5]
Dengan komunikasi yang baik, perundingan ini juga membuka peluang terhindarnya pekerja/buruh dari PHK.
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka penyelesaian selanjutnya adalah proses perundingan secara tripartit, yaitu mekanisme mediasi atau konsiliasi dengan melibatkan seorang atau beberapa orang atau badan di mana pihak ketiga tersebut akan menengahi pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.
[6]
Jika tidak pula tercapai kesepakatan antara Anda dengan pengusaha, maka Anda dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial ini.
[7]
Kami telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut
covid19.hukumonline.com.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[2] Pasal 56 ayat (1) jo. Pasal 154 UU 13/2003
[4] Bagian II SE Menaker 3/2020
[6] Pasal 4 ayat (1), (3), dan (4) UU PPHI