Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Gugat-menggugat di pengadilan adalah langkah yang dianjurkan untuk mempertahankan hak hukum jika kepentingan atau haknya dirugikan. Tujuannya adalah supaya tidak main hakim sendiri.
Dalam persoalan di atas, kita melihat bahwa:
Pada tingkat Pengadilan Negeri: penggugat menang di Pengadilan Negeri dengan objek yang disengketakan adalah tanah senilai Rp 5 miliar. Namun, pada saat bersamaan tergugat telah melakukan gugat balik/rekovensi terhadap Penggugat.
Pada tingkat Pengadilan Tinggi: tergugat banding atas putusan Pengadilan Negeri. Di tingkat Pengadilan Tinggi tergugat memenangkan gugatan balik senilai Rp 13 miliar.
Perlu diperhatikan, kami meluruskan bahwa gugat balik yang dilakukan Tergugat telah dilakukan sejak tingkat Pengadilan Negeri karena berdasarkan
Pasal 132b Herzien Inlandsch Reglement (“
HIR”) gugatan melawan/rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban gugatan, yang berarti di lakukan di pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat
M. Yahya Harahap yang kami kutip di bawah ini.
Kemudian, dalam praktiknya, sering dipakai istilah Penggugat/Tergugat Rekovensi atau Tergugat/Penggugat Rekovensi. Jika ada istilah yang demikian, hal ini menandakan bahwa dalam perkara tersebut ada tuntutan balik.
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 537) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah:
Rekovensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan gugatan kepadanya, dan
Gugatan rekovensi itu, diajukan tergugat kepada PN, pada saat berlangsung proses pemeriksaan yang diajukan penggugat.
Kembali ke pertanyaan Anda, dalam hal penggugat meninggal dunia, terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengatur apabila penggugat meninggal dalam suatu perkara yang sedang berjalan, yaitu
Putusan Mahkamah Agung RI, No.431.K/Sip/1973, tanggal 9 Mei 1974, sebagaimana yang dikutip dalam laman
Pengadilan Agama Purbalingga yang menjelaskan bahwa dengan meninggalnya penggugat asli dan tidak ada persetujuan dari semua ahli warisnya untuk melanjutkan gugatan semula, gugatan harus dinyatakan gugur, yang berarti hal tersebut berlaku apabila gugatan masih dalam proses pemeriksaan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).
Berbeda dengan permasalahan di atas, gugatan penggugat dalam kasus yang Anda ceritakan tidak lagi sedang berjalan di Pengadilan Negeri, melainkan sudah selesai di tahap banding di Pengadilan Tinggi dan penggugat kalah. Selanjutnya, karena Anda mengatakan bahwa penggugat tidak memiliki saudara, anak, dan istri, namun tidak menyebutkan ahli waris yang lain, kami akan mengasumsikan bahwa penggugat tersebut tidak mempunyai ahli waris. Sehingga, tidak ada lagi yang berhak untuk meneruskan perkara penggugat.
Akan tetapi, penggugat juga memiliki aset pada sebuah perusahaan (Perseroan Terbatas). Oleh karena itu, apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) Tergugat/Penggugat Rekovensi (pihak keluarga) dapat mengajukan permohonan eksekusi putusan pengadilan berdasarkan Pasal 197 HIR. Eksekusi yang dimaksud adalah dengan mengeksekusi saham atas nama Penggugat/Tergugat Rekonvensi yang ada pada perusahaan yang dimiliki.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung No.431.K/Sip/1973, tanggal 9 Mei 1974.
Referensi:
M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika. 2017.