Saya punya masalah dengan salah satu Bank Pemerintah berupa tunggakan KPR. Pada saat 2 orang debt collector dari Bank tersebut mengunjungi rumah saya, kami suami-istri sedang bekerja di luar rumah. Di rumah hanya ada anak saya berusia 10 tahun dan pembantu. Salah seorang dari debt collector berkata kepada anak saya, “kalau papa dan mama kamu tidak bisa melunasi tunggakan maka rumah ini akan kami jual,” sambil memperlihatkan stiker dari Bank tersebut dan menyuruh anak saya untuk membacanya sambil berkata "Kamu bisa baca kan?" Hal ini membuat anak saya depresi dan menangis pada saat saya dan istri pulang kerja. Apakah hal ini termasuk pengancaman? Mengingat anak saya sampai beberapa hari jadi pemurung dan selalu bertanya apa benar rumah kami akan dijual oleh debt collector Bank tersebut? Terima kasih atas penjelasannya.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang samayang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pernahdipublikasikan padaRabu, 11 Desember 2013.
Jika ditinjau dari KUHP, tindakan debt collector tersebut bukanlah merupakan tindak pidana pengancaman karena tidak disertai tindakan lain seperti unsur memaksa anak Anda untuk memberikan suatu barang dengan maksud menguntungkan dirinya.
Sikap debt collector yang bertanya “kamu bisa baca kan?” kepada anak Anda memang belum tentu dikatakan sebagai pengancaman, akan tetapi jika dilakukan dengan cara kekerasan, terutama kekerasan yang melukai dan/atau mencederai mental si anak, maka sikap tersebut telah merampas hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Yang mana setiap orang pada dasarnya dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak.
Lalu bagaimana jika ditinjau dari UU Perlindungan Anak? Apa jerat pidananya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Ancaman Kekerasan Menurut KUHP
Untuk mengetahui apakah sikap yang dilakukan oleh debt collector terhadap anak Anda merupakan suatu pengancaman atau tidak, kita merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Ketentuan pidana mengenai pengancaman diatur dalam Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman KUHP. Mengenai ancaman kekerasan diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
R. Soesilo menjelaskan pasal tersebut dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 256) dan menamakan perbuatan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai pemerasan dengan kekerasan yang mana pemerasnya:
1.Memaksa orang lain;
2.Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
3.Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
4.Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.
Agar tindakan debt collector dapat dikenakan terhadap pasal mengenai pengancaman ini, tentu harus memenuhi keempat unsur di atas. Jika melihat dari pertanyaan yang Anda sampaikan dan terbatasnya informasi yang Anda berikan, sikap debt collector tersebut mungkin tidak dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain. Yang ia lakukan bisa jadi hanya berupa pernyataan dengan cara kekerasan bernada tinggi kepada anak Anda dan tidak disertai tindakan lain seperti memaksa anak Anda untuk memberikan suatu barang dengan maksud menguntungkan dirinya.
Dengan demikian, jika ditinjau dari KUHP, menurut hemat kami, tindakan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana pengancaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai tindak pidana pengancaman dapat Anda simak dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pelaku Pengancaman.
Sikap debt collector kepada Anda bisa berkaitan dengan salah satu hak anak, yakni setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[1]
Kekerasan yang dimaksud adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.[2]
Menurut hemat kami, perbuatan debt collector yangmengakibatkan anak Anda depresi dan menangis hingga sampai beberapa hari menjadi pemurung dapat dikatakan merupakan bentuk kekerasan psikis.
Masih berkaitan dengan perlakuan terhadap anak, menurut Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak:
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.diskriminasi;
b.eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.penelantaran;
d.kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.
Perlakuan kekerasan dan penganiayaan itu misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.[3]
Analisis
Sikap debt collector yang bertanya “kamu bisa baca kan?” kepada anak Anda memang belum tentu dikatakan sebagai pengancaman, akan tetapi jika dilakukan dengan cara kekerasan, terutama kekerasan yang melukai dan/atau mencederai mental si anak, maka sikap tersebut telah merampas hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan.[4]
Seperti yang telah kami katakan di atas, perbuatan debt collector yangmengakibatkan anak Anda depresi dan menangis hingga sampai beberapa hari menjadi pemurung dapat dikatakan merupakan bentuk kekerasan psikis.
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak.[5]
Bagi yang melanggarnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Namun, dalam hal anak luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta. Sementara jika anak mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.[6]
Langkah yang Dapat Dilakukan
Menurut hemat kami, sebelum Anda membawa masalah ini ke ranah hukum, kami menyarankan agar Anda memberikan pengertian kepada anak Anda melalui pendekatan psikologis secara baik-baik demi pemulihan mentalnya terlebih dahulu.
Adapun langkah hukum yang dapat Anda lakukan adalah dengan menyampaikan laporan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini Kepolisian agar pelaku diproses pidana.
Langkah lain yang juga dapat dilakukan adalah menghubungi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak, dengan UU 35/2014 ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.[7]