Dalam tren globalisasi, dunia hukum dihadapkan pada pendirian kantor advokat yang dapat melewati jurisdiksi suatu negara. Berbagai kantor advokat asing membuka cabang kantor advokatnya dengan bermitra denganlawfirm di berbagai negara sebagai bentuk ekspansi networking.
Di Indonesia, ada larangan bagi advokat asing untuk beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia. Namun, bagaimana jika advokat Indonesia yang justru ingin berpraktik di luar negeri? Bagaimana pendiriannya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Ketentuan Pendirian Kantor Advokat di Indonesia
Advokat merupakan salah satu profesi hukum yang memberikan jasa hukum berupa konsultasi hukum, bantuan hukum dan merupakan salah satu dari empat penegak hukum di Indonesia.Penegak hukum lainnya, yaitu kepolisian, kejaksaan dan peradilan.
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat.[1]
Dalam hal pendirian kantor advokat oleh seseorang atau sekumpulan orang Indonesia diluar negeri jelas memang belum terdapat aturan yang tegas yang memayungi persoalan ini di Indonesia.
Dalam tren globalisasi, dunia hukum dihadapkan pada pendirian kantor advokat yang dapat melewati jurisdiksi suatu negara. Berbagai kantor advokat asing membuka cabang kantor advokatnya dengan bermitra denganlawfirm di berbagai negara sebagai bentuk ekspansi networking.
BerdasarkanPasal 23 ayat (1) UU Advokat,memang terdapat larangan bagi advokat asing untuk beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.
Namun demikian, kantor advokat diperbolehkan untuk memperkerjakan advokat asing di kantor advokatnya baik sebagai karyawan atau tenaga ahli bidang hukum setelah mendapat izin pemerintah dan rekomendasi organisasi advokat.[2]
Menurut hemat kami, mekanisme ini bagi Masyarakat Ekonomi Asean (“MEA”) dianggap terlalu kaku dan sudah tidak relevan lagi.
Pelarangan ini menggambarkan sebuah ketidakadilan dan juga inkonsistensi pemerintah Indonesia terhadap kesepahaman regional ASEAN.
Setidaknya terdapat beberapa pokok kesepakatan MEA yang digagas sejak pertemuan ke-38 ASEAN Economic Ministers Meeting (“AEM”) di Kuala Lumpur, Malaysia pada Agustus 2006tentang peluang advokat asing beracara di Indonesia ataupun sebaliknya.
Berdasarkan artikel tersebut,terdapat kesepahaman diASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi (single market and production base), sehingga harus dibuka aliran barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan modal yang lebih bebas.
Menjadi konsekuensi logis bagi negara-negara ASEAN dan juga Indonesia untuk membuka dan menawarkan jasa hukum serta mendirikan kantor advokat diseluruh wilayah ASEAN, tidak hanya terbatas di negaranya saja.
Khusus bagi advokat Indonesia, baik dengan keahlian khusus atau tidak, sebelummenjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di wilayah negara Indonesia.[3]
Hal ini menjadi prasyarat untuk dapat bekerja dan beracara sebagai advokat yang wilayah kerjanya mencakup seluruh wilayah Indonesia.[4]
Dengan demikian, persoalan ini pada dasarnya tidaklah terjawab jika hanya melandaskan pada UU Advokat yang hanya berlaku di Indonesia, karena boleh tidaknya advokat Indonesia beracara di negara lain sangat tergantung pada rezim hukum nasional masing-masing negara.
Selain itu, kemungkinan dibolehkannya advokat Indonesia mendirikan kantor hukum di luar negeri tersebut juga berdasarkan hukum internasional yang dapat ditentukan oleh perjanjian internasional antar negara, antar organisasi advokat baik bilateral, regional, dan multilateral.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata