KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kembalikan Kerugian Negara, Bisakah Koruptor Bebas dari Jerat Pidana?

Share
Pidana

Kembalikan Kerugian Negara, Bisakah Koruptor Bebas dari Jerat Pidana?

Kembalikan Kerugian Negara, Bisakah Koruptor Bebas dari Jerat Pidana?
Ikhsan Permana, S.H.NKHP Law Firm

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Apabila seorang koruptor atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah dia korupsi sebelum putusan pengadilan, apakah kasus koruptor tersebut masih dilakukan proses hukumnya sampai putusan pengadilan ataukah dibebaskan karena telah mengembalikan uang yang telah dikorupsi tersebut?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Meskipun mengembalikan uang hasil tindak pidana korupsi tidak serta merta dapat membebaskan koruptor dari jerat pidana, namun pengembalian kerugian negara dapat menjadi faktor yang meringankan terdakwa. Apa dasar hukumnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    KLINIK TERKAIT

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Kasus Korupsi Dihentikan Bila Terdakwa Mengembalikan Keuangan Negara? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 18 Januari 2016.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pengembalian Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi

    Salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang secara mendasar diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, sebagai berikut:

    Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016

    Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016

    (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

    (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

    Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

    Secara historis, ada kata "dapat" pada bunyi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 31/1999, sehingga dulunya berbunyi “yang dapat merugikan keuangan negara”. Namun, kata “dapat” tersebut telah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016.

    Sebelum adanya putusan MK, kedua delik tersebut dikonstruksikan secara formil. Namun, kini telah menjadi delik materiil, sehingga suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila secara nyata menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara.

    Baca juga: Apa Perbedaan Delik Formil dan Delik Materiil?

    Adapun, pengembalian kerugian negara merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memulihkan kembali perekonomian negara akibat perbuatan tindak pidana korupsi.[1]

    Upaya pengembalian kerugian negara tersebut dilakukan dengan pengenaan sanksi pidana pokok berupa denda kepada terdakwa kasus korupsi seperti yang telah tercantum di dalam pasal-pasal UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.

    Di samping itu, hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti, dan penyitaan harta benda. Hal ini diatur dalam Pasal 18 UU 31/1999 yang menyatakan bahwa:

    1. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pidana tambahan juga termasuk:
    1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
    2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
    3. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun;
    4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
    1. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
    2. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

    Kembalikan Kerugian Negara, Bisakah Koruptor Bebas dari Jerat Pidana?

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai bagaimana jika terdakwa atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan, apakah perkara korupsi tersebut bisa dihentikan dan pelaku bebas dari jerat pidana?

    Pasal 4 UU 31/1999 secara jelas mengatur bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

    Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 4 UU31/1999, ditegaskan sebagai berikut:

    Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka meskipun uang hasil tindak pidana korupsi dikembalikan oleh terdakwa sebelum perkaranya diputus, namun proses hukum tetap dijalankan.

    Adapun, pengembalian kerugian negara dapat menjadifaktor yang meringankan bagi terdakwa atas hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadapnya.

    Sebagai contoh, majelis hakim dalam pertimbangan hukum Putusan PN Kupang No. 53/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Kpg (hal. 132) menyatakan bahwa karena terdakwa telah mengembalikan kerugian keuangan negara sejumlah Rp100 juta, maka hal tersebut menjadi iktikad baik terdakwa dan akan dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan diri terdakwa.

    Kemudian, majelis hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun 10 bulan. Sedangkan, sebelumnya Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya mengajukan agar terdakwa dijatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan (hal. 2, 133 – 134).

    Meskipun di dalam UU 31/1999 dan perubahannya diatur mengenai pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, namun bukan berarti terdakwa kehilangan haknya untuk melakukan pembelaan diri.

    Dalam teori pertanggungjawaban pidana (toerekenbaarheid) terdapat alasan penghapus pidana yang meliputi alasan pembenar dan alasan pemaaf, sebagai faktor yang menentukan apakah terdakwa dipidana (dijatuhi hukuman) atau tidak.

    Alasan-alasan penghapus pidana tersebut tertuang dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 51 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan atau Pasal 31 s.d. Pasal 34, Pasal 38 s.d. Pasal 44 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026.[2] Salah satunya adalah karena adanya daya paksa atau dalam keadaan darurat.[3]

    Anda dapat membaca artikel Pasal 44 KUHP Lama tentang Alasan Pemaaf Tindak Pidana dan Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana untuk mendalami alasan penghapus pidana.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    DASAR HUKUM

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    PUTUSAN

    1. Putusan Pengadilan Negeri Kupang Nomor 53/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Kpg;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.

    REFERENSI

    Yayan Indriana. Pengembalian Ganti Rugi Keuangan Negara pada Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jurnal CEPALO, Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2018.

    [1] Yayan Indriana. Pengembalian Ganti Rugi Keuangan Negara pada Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jurnal CEPALO, Vol. 2 No. 2, Juli-Desember 2018, hal. 122

    [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [3] Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Pasal 33 UU 1/2023

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda