Kedudukan Hukum Peradilan Desa Adat
Bacaan 16 Menit
PERTANYAAN
Apabila pidana adat diakui, berarti ada sebuah proses peradilan di dalamnya. Apakah peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa adat diatur dalam undang-undang?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 16 Menit
Apabila pidana adat diakui, berarti ada sebuah proses peradilan di dalamnya. Apakah peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa adat diatur dalam undang-undang?
Intisari:
Peradilan adat berfungsi untuk memutus maupun mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat.
Kelembagaan pengadilan adat merupakan pengadilan yang hidup dalam praktik sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat). UU Desa juga mengakui keberadaan kelembagaan peradilan desa adat tersebut.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”).
Legalitas Hukum Adat
Peraturan perundang-undangan di Indonesia mengakui hukum adat. Pengakuan akan hukum adat ini terdapat dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Selain itu, dalam memutus perkara seorang hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[1] Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[2] Penjelasan lebih lanjut mengenai hukum adat dapat Anda simak dalam artikel Sudah Dipidana Secara Adat, Dapatkah Dipidana Lagi Berdasarkan Hukum Nasional?.
Dalam artikel Hakim Adat Minta Pengakuan dari Negara, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara Lilik Mulyadi (yang menjabat saat itu) menjelaskan sebenarnya lembaga adat diakui dalam sistem peradilan Indonesia. Pengakuannya dapat dilihat dari hakim-hakim yang telah menggali nilai-nilai adat ketika membuat putusan.
Lebih lanjut, Lilik mengatakan model penyelesaiannya itu adalah bila sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan nasional. Dan sebenarnya pengadilan sudah mengakui itu.
Peraturan Desa Adat dan Peradilan Desa Adat
UU Desa mengatur mengenai Peraturan Desa Adat, Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[3] Ketentuan mengenai Peraturan Desa Adat hanya berlaku bagi desa adat.[4]
Akan tetapi perlu diketahui, ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang Desa Adat.[5]
Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.[6]
Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.[7]
Pasal 103 UU Desa mengatur tentang kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul yang meliputi:
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Jadi UU desa sendiri mengakui keberadaan peradilan Desa Adat yang berfungsi mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat.
Kelembagaan Pengadilan Desa Adat
Dalam artikel Menakar Peradilan Desa Adat Dalam UU Desa sebagaimana yang kami akses dari laman HuMa (organisasi non pemerintah yang memusatkan perhatian kerjanya pada isu pembaharuan hukum pada bidang sumber daya alam), Nurul Firmansyah menjelaskan bahwa desa adat adalah quasi Negara yang menjalankan kewenangan pemerintahan desa, sekaligus menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal usul. Desa adat adalah perpaduan sistem pemerintahan modern dengan tradisional, sehingga dalam konteks tersebut, kelembagaan desa adat dalam derajat tertentu dapat mengadopsi kelembagaan tradisional.
Masih bersumber dari laman yang sama, kelembagaan pengadilan adat adalah bagian dari kelembagaan tradisional desa adat yang dalam definisi hukum disebut dengan “susunan asli”. Kelembagaan pengadilan adat merupakan pengadilan yang hidup dalam praktek sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat). UU Desa mengakui keberadaan kelembagaan pengadilan desa adat tersebut.
Hal ini sesuai dengan Pasal 103 huruf a UU Desa yang menyebutkan bahwa pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan oleh desa adat berdasarkan susunan asli. Susunan asli adalah sistem organisasi kehidupan desa adat yang dikenal di wilayah-wilayah masing-masing.[8] Dengan merujuk rumusan Pasal 103 huruf a dan dikaitkan dengan Pasal 103 huruf d dan e UU Desa, maka kelembagaan pengadilan desa adat adalah pengadilan adat yang dikenal oleh masyarakat hukum adat, baik yang berfungsi memutus, maupun yang berfungsi mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Artinya, Pengadilan-pengadilan yang dikenal oleh masyarakat hukum adat itulah yang kemudian diakui menjadi pengadilan desa adat dalam rumusan UU Desa.[9]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, peradilan adat tersebut berfungsi untuk memutus maupun mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Kelembagaan pengadilan adat merupakan pengadilan yang hidup dalam praktek sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat) dan UU Desa mengakui keberadaan kelembagaan peradilan desa adat tersebut.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
http://huma.or.id/uncategorized/menakar-peradilan-desa-adat-dalam-uu-desa.html, diakses pada 20 Juni 2017, pukul 11.30 WIB
[1] Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”)
[2] Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009
[3] Pasal 110 UU Desa
[4] Pasal 111 ayat (1) UU Desa
[5] Pasal 111 ayat (2) UU Desa
[6] Pasal 107 UU Desa
[7] Pasal 108 UU Desa
[8] Penjelasan Pasal 103 huruf a UU Desa
[9] Nurul Firmansyah, Menakar Peradilan Desa Adat Dalam UU Desa
KLINIK TERBARU
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?