Intisari :
Informasi dan/atau dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah menurut hukum (alat bukti elektronik). Yang terpenting adalah bagaimana alat bukti itu didapatkan, tentunya harus sesuai hukum yang berlaku. Berangkat dari prinsip bahwa every evidence can talk, yang dapat membuat alat bukti elektronik “berbicara” adalah seorang ahli digital forensic. Penjelasan ahli tersebut nantinya akan dilakukan dengan cara merekonstruksi alat bukti elektronik, sehingga membuat terang jalannya persidangan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Menurut Yahya Harahap, dalam buku Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 285), Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti itu, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.
Lalu bagaimana dengan alat bukti elektronik? Apa sah menurut hukum?
Diakuinya informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti elektronik karena keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik.
[2]
Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar berpendapat bahwa, pada praktiknya penegak hukum (hakim dan jaksa) terbagi dua pendapat mengenai alat bukti elektronik. Ada yang memposisikan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti keenam, ada yang menjadikan alat bukti elektronik sebagai perluasan dari alat bukti di Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Menurutnya kedua pendapat itu benar, yang terpenting adalah alat bukti itu di dapat secara sah.
Ia pula menambahkan, bahwa seorang ahli digital forensic akan menentukan keabsahan suatu alat bukti elektronik di persidangan. Berangkat dari prinsip bahwa every evidence can talk, yang dapat membuat alat bukti elektronik “berbicara” adalah seorang ahli digital forensic. Penjelasan ahli tersebut nantinya akan dilakukan dengan cara merekonstruksi alat bukti elektronik, sehingga membuat terang jalannya persidangan.
Seiring berjalannya waktu, menurut hemat kami perkembangan alat bukti pada acara pidana senada dengan apa yang dikatakan oleh Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar di atas. Sehingga alat bukti elektronik secara sah diakui untuk pembuktian di persidangan. Yang terpenting adalah bagaimana alat bukti itu didapatkan, tentunya harus sesuai hukum yang berlaku. Selain itu, tidak sembarang orang yang dapat menjelaskan mengenai alat bukti elektronik, untuk itu eksistensi digital forensic dibutuhkan dalam penanganan perkara pidana terkait pembuktian dengan alat bukti elektronik.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
M. Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
Referensi:
Catatan:
Pendapat Komisaris Besar Polisi Muhammad Nuh Al-Azhar, MSc., CHFI., CEI., ECIH dalam Pelatihan Hukumonline 2019, Memahami Cyber Law, Cyber Crime, dan Digital Forensic dalam Sistem Hukum Indonesia (Angkatan Keenam), Rabu 23 Januari 2019.
[1] Pasal 184 ayat (1) huruf a bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” (
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010)
[2] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 19/2016