Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Karyawan Tak Masuk Kerja karena Anak Sakit, Bolehkah?

Share
Ketenagakerjaan

Karyawan Tak Masuk Kerja karena Anak Sakit, Bolehkah?

Karyawan Tak Masuk Kerja karena Anak Sakit, Bolehkah?
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 7 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya memiliki pertanyaan tentang ketenagakerjaan. Saya adalah seorang ibu yang bekerja, alias karyawan di satu perusahaan. Anak saya berumur 1 tahun 11 bulan, ia sakit dan dirawat di rumah sakit. Apakah surat sakit anak saya dari rumah sakit bisa digunakan untuk cuti sakit dari orang tuanya (ayah dan ibu) atau kalau orang tuanya tidak masuk harus potong cuti tahunan? Jika anak sakit, bisakah pekerja izin tidak masuk kerja?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Seorang pekerja/buruh yang sakit dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter dapat tidak melakukan pekerjaannya, dan pengusaha tetap memiliki kewajiban membayar upahnya.

    Namun, jika yang sakit adalah anak dari pekerja, apakah pekerja tersebut tetap memiliki hak yang sama? Bisakah pekerja izin tidak masuk kerja atau cuti ketika anak sakit?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bolehkah Pekerja Tidak Masuk Bekerja Karena Anak Sakit? yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada tanggal 26 Mei 2016.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Ketentuan Cuti Sakit

    Menjawab pertanyaan tentang ketenagakerjaan Anda, kami akan merujuk pada UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah diperbaharui oleh UU Cipta Kerja.

    Berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, diatur bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

    Akan tetapi, terdapat pengecualian dengan alasan-alasan tertentu terhadap ketentuan tersebut, dimana pengusaha wajib membayar upah apabila:[1]

    1. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
    2. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua mamsa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
    3. pekerja/buruh tidak masuk kerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
    4. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
    5. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    6. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
    7. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
    8. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan perusahaan; dan
    9. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

    Adapun berdasarkan penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan dokter. Oleh karena itu, memang sakit dalam hal ini harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter bahwa pekerja tersebut sakit.

    Baca juga: Berapa Lama Aturan Cuti Sakit Karyawan Swasta?

    Lantas, cuti sakit berapa hari? Berdasarkan ketentuan Pasal 81 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan, maksimal seorang pekerja boleh tidak melakukan pekerjaan karena sakit menurut keterangan dokter adalah selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.

    Melihat pada ketentuan di atas, jelas bahwa anak sakit dan surat sakit anak Anda dari rumah sakit tidak dapat digunakan sebagai alasan Anda tidak masuk bekerja.

    Lantas, apa yang dapat dilakukan oleh pekerja jika anak sakit? Bisakah pekerja izin tidak masuk kerja ketika anak sakit?

    Ketentuan Cuti Tahunan

    Pada dasarnya, benar bahwa Anda sebagai pekerja dapat mengambil cuti tahunan jika anak Anda sakit. Pemberian cuti tahunan ini merupakan kewajiban pengusaha untuk memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.[2] Namun, penting untuk diperhatikan bahwa alasan Anda cuti adalah karena cuti tahunan merupakan hak Anda sebagai pekerja, bukan karena alasan anak Anda sakit.

    Ketentuan cuti tahunan adalah paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.[3] Perlu diperhatikan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[4]

    Berkaitan dengan cuti tahunan, Anda dapat baca selengkapnya dalam artikel Kapan Hak Cuti Tahunan Bisa Digunakan?, Aturan Cuti Tahunan, Bolehkah Lebih dari 12 Hari?, dan Aturan Seputar Uang Cuti Tahunan.

    Meski demikian, kami menyarankan agar Anda dapat melihat kembali peraturan perusahaan, perjanjian kerja maupun perjanjian kerja bersama yang berlaku di tempat Anda bekerja. Apakah ada atau tidak ketentuan yang membolehkan tidak bekerja karena alasan keluarga sakit. Sebab, pada praktiknya ada perusahaan yang memberlakukan ketentuan seperti:

    1. cuti khusus;
    2. cuti haid, melahirkan, dan keguguran;
    3. cuti keluarga sakit;
    4. cuti pindah rumah;
    5. cuti anggota keluarga meninggal dunia;
    6. cuti tertimpa musibah (kebakaran/banjir); dan lain-lain.

    Baca juga: Aturan Cuti Besar bagi Pekerja

    Hak Ibu dalam UU 4/2024

    Selain itu, karena berhubungan dengan seorang ibu dan anak, maka kita juga dapat merujuk pada ketentuan UU 4/2024 yang mengatur tentang kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU 4/2024, anak adalah seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia 2 tahun. Maka, kondisi anak Anda yang masih berumur 1 tahun 11 bulan termasuk pada definisi anak menurut UU 4/2024.

    Dalam undang-undang tersebut, seorang ibu yang bekerja memiliki hak tertentu, contohnya seperti hak-hak yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (3) UU 4/2024, antara lain mendapatkan:

    1. cuti melahirkan dengan ketentuan minimal 3 bulan pertama dan maksimal 3 bulan berikutnya jika ada kondisi khusus dari surat keterangan dokter;
    2. waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran;
    3. kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja;
    4. waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak; dan/atau
    5. akses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya.

    Menurut hemat kami, Pasal 4 ayat (4) huruf d UU 4/2024 dapat dijadikan dasar seorang ibu yang bekerja untuk mendapatkan waktu yang cukup bersama anaknya, untuk kepentingan terbaik bagi anak tersebut, dalam hal ini misalnya jika anak sedang sakit.

    Adapun waktu yang cukup sebagaimana dimaksud harus dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[5]

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
    3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang;
    4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

     


    [1] Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)

    [2] Pasal 81 angka 25 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [3] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

    [4] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (4) UU Ketenagakerjaan

    [5] Penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan

     

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?