Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Hubungan Perusahaan dan Karyawan/Pekerja
Hubungan perusahaan dengan pekerja atau karyawan adalah hubungan yang idealnya berlangsung harmonis. Ibarat dua sisi mata uang, satu dengan yang lain saling membutuhkan. Perusahaan menciptakan dan memberikan pekerjaan kepada karyawan, sedangkan karyawan menerima upah atau gaji. Bagi karyawan yang tidak menjalankan kewajibannya, maka tidak berhak menerima gaji (
no work no pay). Hubungan ini dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dikenal sebagai
hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
[1]
Mekanisme penggajian atau pengupahan mulanya dilakukan secara langsung. Perusahaan menyerahkan kepada karyawan sejumlah uang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Pekerja kemudian membuat tanda terima atas uang yang diterimanya tersebut.
Namun dalam perjalanannya, seiring dengan bertambahnya jumlah pekerja, pembayaran gaji melalui pembayaran langsung sangat sulit. Apalagi jika karyawan berada di lokasi yang jauh dan berbeda tempat. Di sinilah awal mula disepakatinya pembayaran upah melalui transfer uang ke rekening bank milik karyawan.
Sebelum pembayaran melalui transfer bank dilaksanakan, pihak perusahaan meminta karyawan agar memiliki terlebih dahulu rekening bank. Agar efisien dan tidak ada beban biaya pengiriman, pihak perusahaan menganjurkan agar karyawan memiliki rekening di bank yang sama dengan bank perusahaan. Seterusnya, pihak perusahaan akan membayar upah, gaji, atau hak-hak lain karyawan melalui mekanisme transfer antar bank yang telah disepakati.
Namun dalam praktik, ada kalanya terjadi kesalahan transfer pada saat pembayaran hak-hak karyawan tersebut. Untuk itu, biasanya perusahaan meminta surat persetujuan dari karyawan untuk mengecek history tabungan karyawan, untuk menghindari adanya kesalahan transfer atas hak-hak karyawan.
Intinya, dasar bagi proses tersebut adalah untuk kemudahan dan adanya saling percaya antara perusahaan dengan para karyawan, yang dibuktikan dengan adanya persetujuan tertulis dari karyawan sebagai pemilik rekening tabungan.
Tabungan sebagai Rahasia Bank
Namun jika kita mengacu pada ketentuan perbankan, bahwa data tabungan, termasuk di antaranya history tabungan, adalah sesuatu yang menjadi rahasia sehingga tidak boleh diketahui oleh siapapun, kecuali ada izin dari si pemilik rekening tabungan.
Pengertian tabungan diuraikan dalam Pasal 1 angka 9 UU 10/1998, yang berbunyi:
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut Syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Lebih lanjut, dalam Pasal 40 UU 10/1998 dijelaskan bahwa:
Bank Wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi.
Dalam Pasal 41 ayat (1) UU 10/1998 kemudian diuraikan bahwa:
Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Perppu 1/2017 sendiri mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor
perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
[2]
Pengecualian Rahasia Bank Lainnya
Selain pengecualian dalam Pasal 41 ayat (1) UU 10/1998 di atas, terdapat beberapa pengecualian keberlakuan rahasia bank lain yang juga merujuk pada Pasal 40 UU 10/1998. Masing-masing diuraikan sebagai berikut:
Pasal 41A UU 10/1998
Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.
Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara.
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.
Pasal 42 UU 10/1998
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisisan Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 44 ayat (1) UU Perbankan
Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
Pasal 44A UU 10/1998
Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan tersebut.
Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa akses tabungan karyawan oleh perusahaan tidak termasuk alasan yang mengecualikan kerahasiaan bank. Jadi untuk menjawab pertanyaan Anda, menurut aturan, suatu perusahaan tidak punya otoritas untuk melihat history tabungan rekening karyawannya kecuali diizinkan secara tertulis oleh si pekerja tersebut.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 2 ayat (1) Perppu 1/2017