Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Bill Joseph Lintang, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 9 Juli 2019.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Orang tidak waras (sakit jiwa) menurut Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016 adalah orang yang mempunyai keterbatasan dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Orang dengan masalah kejiwaan termasuk kategori penyandang disabilitas mental.
Dari pernyataan yang Anda berikan, kami menyimpulkan ada 2 permasalahan yang Anda tanyakan, yakni terkait dapat atau tidaknya orang dengan masalah kejiwaan (“ODMK”) dimintakan pertanggungjawaban secara hukum dan jaminan hak bagi orang yang terganggu atas tindakan ODMK. Namun sebelum menjawab pertanyaan anda akan kami jelaskan beberapa hal terlebih dahulu.
Bahwa berdasarkan kronologis singkat yang Anda jelaskan, terdapat tindakan “penghinaan” terhadap Anda maupun orang-orang di sekitar apartemen yang Anda huni sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.
Tindak Pidana Penghinaan
Pada dasarnya tindakan penghinaan tersebut dapat dijerat oleh ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026,[1] yaitu:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 310 ayat (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[2] | Pasal 433 ayat (1) Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3] |
Pasal 315 Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[4] | Pasal 436 Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[5] |
Berdasarkan ketentuan di atas, dalam hal penghinaan atas kehormatan atau nama baik ditujukan untuk diketahui umum maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP atau Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023, atau dapat pula dijerat dengan ketentuan mengenai tindak pidana penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 KUHP atau Pasal 436 UU 1/2023.
Tanggung Jawab Pidana
Hanya saja, tidak ada pidana yang dapat diterapkan, kecuali terhadap perbuatan yang melawan hukum dan kesalahan yang dapat dicela, atau dengan kata lain tiada pidana tanpa kesalahan. Prof. Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hal.163-165) menjelaskan elemen pertama dari kesalahan adalah kemampuan bertanggung jawab atau toerekeningsvatbaarheid. Kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP tidak dirumuskan secara positif, melainkan secara negatif, dengan bunyi sebagai berikut.
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 44 ayat (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. | Pasal 38 Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. |
Pasal 44 ayat (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan. | Pasal 39 Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. |
Oleh karena apabila penghinaan dilakukan oleh orang yang sedang terganggu jiwanya, ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, namun demikian berdasarkan UU 1/2023 dapat dikenai tindakan dan/atau dikurangi pidananya. Hal ini dikenal pula sebagai alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum.
Baca juga: Dapatkah Penderita Eksibisionisme Dipidana?
Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Selanjutnya, merujuk pada pertanyaan yang Anda ajukan mengenai hak asasi manusia, tentu hak Anda untuk hidup dengan damai dan tenteram dilindungi secara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU HAM yang berbunyi:
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Akan tetapi, orang dengan masalah kejiwaan juga tetap memiliki hak asasi manusia yang sama dan secara khusus juga diatur dalam Pasal 42 UU HAM yang berbunyi:
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk menjamin pelaksanaan hak Anda dan hak orang dengan masalah kejiwaan tersebut secara seimbang, Pasal 149 ayat (1) UU Kesehatan mengatur penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Terkait penanganan terhadap orang dengan masalah kejiwaan, proses administrasinya ditangani oleh dinas sosial berkoordinasi dengan dinas kesehatan. Upaya rehabilitasi psikiatrik atau psikososial merupakan tanggung jawab menteri di bidang kesehatan. Sedangkan pelaksanaan upaya rehabilitasi sosial merupakan tanggung jawab menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.[6]
Dengan demikian, kami menyarankan untuk menghindari terjadinya gangguan terhadap warga di lingkungan apartemen, maka upaya yang dapat Anda lakukan adalah melaporkan kepada dinas sosial mengenai adanya orang dengan masalah kejiwaan ataupun ke lembaga masyarakat seperti RT/RW maupun pihak kepolisian untuk dapat dirujuk kepada dinas sosial agar nantinya diberikan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan sehingga ia tidak lagi mengganggu warga di lingkungan apartemen.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
[3] Pasal 79 ayat (1) UU 1/2023
[5] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023