Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu di Pengadilan

Share
Keluarga

Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu di Pengadilan

Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu di Pengadilan
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol

Bacaan 9 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya memiliki rekan sedang dalam proses banding pada perkara perceraian di Pengadilan Agama (PA). Salah satu putusan PA adalah menafkahi anak, mut�ah, dan iddah, yang diputus hakim berdasarkan keterangan suaminya dan bukti yang disampaikan. Menurut rekan saya, putusan hakim tersebut sangat tidak adil karena dia mengetahui kisaran penghasilan suaminya. Rekan saya juga bisa membuktikan dengan bukti otentik berupa rekening koran yang dikeluarkan bank secara resmi lengkap dengan stempel bank, yang menyatakan penghasilan suami jauh lebih besar (lebih dari 5 kali lipat) daripada yang diakui saat sidang (pernyataan di atas sumpah). Bisakah rekan saya memperkarakan suaminya atas keterangan palsu di atas sumpah sesuai Pasal 242 KUHP?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, setelah perceraian orang tuanya, anak tetap berhak atas nafkah dari kedua orang tuanya. Dalam kasus rekan Anda, hakim telah memutuskan bahwa mantan suami rekan Anda yang berkewajiban menafkahi anak. Namun, mantan suami rekan Anda telah memberikan keterangan palsu mengenai penghasilannya. Seseorang yang memberikan sumpah palsu dan keterangan palsu berpotensi dipidana Pasal 242 KUHP lama, atau Pasal 291 dan Pasal 373 UU 1/2023 tentang KUHP baru.

    Atas hal tersebut, rekan Anda dapat menuntut mantan suaminya atas keterangan palsu dengan dibuktikan slip gaji atau dokumen lain serta bukti lain yang dapat membuktikan penghasilan mantan suami rekan Anda.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu atas Penghasilannya yang dibuat oleh Fitri Lestari, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 16 Agustus 2019.

    KLINIK TERKAIT

    Sampai Kapan Orang Tua Menafkahi Anak?

    31 Jul, 2024

    Sampai Kapan Orang Tua Menafkahi Anak?

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Anak Pasca Perceraian

    Pada dasarnya, kewajiban mantan suami (atau orang tua) memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

    1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
    3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

    Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa mantan suami berkewajiban menafkahi anak dan bekas istrinya pasca perceraian, maka hal tersebut wajib dilaksanakan oleh suami.

    Namun, mantan suami rekan Anda tidak memberikan keterangan yang sesuai atas kisaran penghasilan yang diperoleh saat di persidangan, sehingga mempengaruhi besaran nafkah yang diwajibkan hakim kepada mantan suami rekan Anda. Dalam undang-undang sudah jelas mengatur mengenai pihak ayah yang menjadi penanggung jawab utama[1], tetapi tidak dapat dipungkiri memang bahwa UU Perkawinan di Indonesia yang merupakan hukum positif untuk perkawinan dan perceraian, tidak menyebutkan secara detail mengenai seberapa besar biaya tunjangan anak yang harus diberikan oleh ayah.

    Sepanjang penelusuran kami, pengaturan yang jelas mengenai seberapa besar biaya tunjangan anak yang harus diberikan oleh ayah hanya disebutkan untuk Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) dalam Pasal 8 ayat (1) s.d. (3) PP 10/1983 sebagai berikut:

    1. Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya;
    2. Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya;
    3. Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.

    Sementara itu untuk Non-PNS tidak ada peraturan yang mengatur besaran nafkah yang diperoleh anak dan bekas istri. Berdasarkan jumlah penghasilan pihak suami saat proses perceraian di pengadilan, istri dapat mengajukan bukti berupa slip gaji atau dokumen lain yang dapat menunjukkan besarnya penghasilan mantan suami.

    Jika Mantan Suami Memberikan Keterangan Palsu di Persidangan

    Apabila memang benar bahwa kisaran penghasilan mantan suami rekan Anda tidak sesuai dengan keterangan yang diberikan di persidangan, maka perbuatan tersebut dapat dikenakan pidana perihal memberikan sumpah palsu dan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 242 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, atau Pasal 291 dan Pasal 373 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026, dengan bunyi sebagai berikut:

    KUHPUU 1/2023

    Pasal 242

    1. Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
    2. Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
    3. Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
    4. Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.

    Pasal 291

    1. Setiap Orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
    2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merugikan tersangka, terdakwa, atau pihak lawan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
     

    Pasal 373

    1. Setiap Orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
    2. Disamakan dengan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang menjadi pengganti sumpah.
    3. Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.

     

    Unsur Pasal 242 KUHP

    Sebagai informasi, pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No. 1-4 yang disebut dalam Pasal 242 ayat (4) KUHP di atas adalah:

    1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
    2. hak memasuki angkatan bersenjata;
    3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; dan
    4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.

    Kemudian, berdasarkan bunyi Pasal 242 KUHPkejahatan sumpah palsu dirumuskan dalam ayat (1). Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1).[3]

    Lalu, apabila tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dirinci, setidaknya terdapat unsur-unsur sebagai berikut:[4]

    1. Unsur objektif, terdiri dari:
      • dalam keadaan undang-undang menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah;
      • perbuatan, yaitu memberikan keterangan di atas sumpah;
      • objek, yaitu keterangan palsu;
      • dengan lisan atau tulisan;
      • secara pribadi atau oleh kuasanya.
    2. Unsur subjektif, yaitu kesalahan dengan sengaja.

    Penjelasan Pasal 373 UU 1/2023

    Selanjutnya, pidana tambahan berupa pencabutan hak dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d yang disebut dalam Pasal 373 ayat (3) UU 1/2023 berupa:

    1. hak memegang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;
    2. hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
    4. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri.

    Kemudian berkaitan dengan Pasal 373 UU 1/2023, ketidakbenaran dari keterangan palsu yang dimaksud dalam ketentuan ini harus diketahui oleh orang yang memberi keterangan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 373 ayat (1) UU 1/2023. Penjelasan selengkapnya dapat Anda baca di Pasal 242 KUHP tentang Pernyataan Sumpah Palsu.

    Mengenai hal tersebut, rekan Anda dapat menuntut mantan suaminya karena telah memberikan keterangan palsu, sehingga putusan pengadilan mengakibatkan besaran tunjangan tidak sesuai dengan penghasilan mantan suami. Dikarenakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan pula bahwa alat bukti yang sah adalah:

    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk; dan
    5. keterangan terdakwa.

    Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Apa Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti?, Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (hal. 19) berpendapat bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.

    Baca juga: Alat Bukti Sah Menurut Pasal 184 KUHAP

    Selanjutnya dalam Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehingga rekan Anda perlu menunjukkan minimal dua alat bukti yang sah yang menunjukan besaran penghasilan mantan suami rekan Anda yang sebenarnya agar dapat dikenakan pidana atas tindakan memberikan keterangan palsu.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
    Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil

    Referensi:

    1. Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014;
    2. Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016.

     


    [1] Pasal 41 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    [3] Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016, hal. 36-37

    [4] Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 9

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?