Beberapa media memberitakan adanya kerusakan fasilitas umum akibat demonstrasi di sejumlah daerah, misalnya ribuan warga gelar aksi bela Palestina di Bandung, kemudian demo buruh soal iuran Tapera potong gaji di Jakarta. Sebenarnya kerusakan fasilitas tersebut merupakan tanggung jawab siapa? Apa jerat pidana pelaku demo anarkis? Apakah ada sanksi pidana bagi pelaku demo anarkis?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya demonstrasi sebagai salah satu bentuk kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional yang dilindungi. Namun, demonstrasi dapat disebut sebagai pelanggaran apabila berlangsung anarkis, yang disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan kejahatan terhadap penguasa umum.
Lantas, apa jerat pidana pelaku demo yang anarkis?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan sama yang dibuat oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 26 September 2019.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Tindakan Anarkis saat Demonstrasi
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada dasarnya, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional yang dilindungi oleh ketentuan pada Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Lebih lanjut, kemerdekaan berpendapat di muka umum tersebut secara spesifik diatur dalam UU 9/1998. Demo yang Anda maksud kami asumsikan sebagai unjuk rasa atau demonstrasi, yang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.[1]
Selanjutnya Pasal 23 huruf e Perkapolri 7/2012 menyatakan bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran apabila berlangsung anarkis, yang disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan kejahatan terhadap penguasa umum.
Sedangkan anarkis yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum, atau hak milik orang lain.[2]
Prosedur Penindakan Pelaku Anarkis saat Demonstrasi
Perlu diketahui bahwa pelaku pelanggaran dan perbuatan anarkis dapat ditindak secara hukum.[3] Adapun tindakan-tindakan yang dapat dilakukan mencakup:[4]
menghentikan tindakan anarkis melalui himbauan, persuasif, dan edukatif;
menerapkan upaya paksa sebagai jalan terakhir setelah upaya persuasif gagal dilakukan;
menerapkan penindakan hukum secara profesional, proporsional, dan nesesitas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi;
dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, maka dilakukan upaya mengumpulkan bukti-bukti dan kegiatan dalam rangka mendukung upaya penindakan di kemudian hari; dan
melakukan tindakan rehabilitasi dan konsolidasi situasi.
Akan tetapi, dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, dengan pertimbangan kemungkinan akan terjadi kerusuhan yang lebih luas atau dapat memicu kerusuhan massa, maka tindakan penegakan hukum tetap dilaksanakan setelah situasi kondisi memungkinkan dilakukan penindakan.[5]
Selanjutnya, terdapat ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan pihak kepolisian selama melakukan penanganan tindakan anarkis. Pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, tidak dilakukan tindakan kekerasan, dan pelecehan seksual.[6] Sementara itu, polisi yang melakukan tindakan upaya paksa harus menghindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain:[7]
tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat;
keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;
tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM; dan
melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan dengan prosedur:[8]
penindakan tilang;
tindak pidana ringan;
penyidikan perkara cepat; dan
penyidikan perkara biasa.
Prosedur penyidikan perkara biasa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terdapat barang bukti terkait pelanggaran berupa demonstrasi yang anarkis, prosedur penyitaan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[9]
Sanksi Pidana
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10]
Adapun salah satu pasal yang dapat menjerat pelaku perusakan fasilitas umum adalah Pasal 170 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 262 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[11] yaitu tahun 2026, dengan bunyi sebagai berikut:
Pasal 170 KUHP
Pasal 262 UU 1/2023
Barang siapa dengan terang terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.
Yang bersalah diancam:
dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
Pasal 89 tidak diterapkan.
Setiap orang yang dengan terang-terangan atau di muka umum dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[12]
Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hancurnya barang atau mengakibatkan luka, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[13]
Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Jika kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d.
Tentang pasal ini, menurut R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 147), kekerasan yang dimaksud harus dilakukan di muka umum karena kejahatan ini memang dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ketertiban umum.
Lebih lanjut, dari bunyi Pasal 170 ayat (1) KUHP di atas, terdapat beberapa unsur pasal tersebut:[14]
Sebagai informasi tambahan, di samping pelakunya dapat dijerat pidana berdasarkan KUHP, perbuatan tersebut juga dilarang di dalam peraturan daerah. Sebagai contoh di Jakarta yang tertuang dalam Pasal 54 Perda DKI Jakarta 8/2007dengan bunyi sebagai berikut:
Setiap orang atau badan dilarang merusak prasarana dan sarana umum pada waktu berlangsungnya penyampaian pendapat, unjuk rasa dan/atau pengerahan massa.
Setiap orang atau badan dilarang membuang benda-benda dan/atau sarana yang digunakan pada, waktu penyampaian pendapat, unjuk rasa, rapat-rapat umum dan pengerahan massa di jalan, jalur hijau, dan tempat umum lainnya.
Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 54 ayat (1) Perda DKI Jakarta 8/2007 di atas, dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana kejahatan.[15]
Contoh Kasus
Sebagai contoh, kita dapat melihat Putusan Pengadilan Negeri Sleman 305/Pid.B/2018/PN Smn. Para terdakwa dalam putusan tersebut diajukan ke pengadilan karena telah membakar ban bekas, membakar pos polisi dengan bom molotov, dan merusak rambu-rambu lalu lintas serta payung pos polisi saat berunjuk rasa (hal. 25). Hakim kemudian memutus bahwa para terdakwa telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau Pasal 262 ayat (2) UU 1/2023. Masing-masing dihukum dengan pidana penjara selama lima bulan dan 15 hari (hal. 32).
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
DASAR HUKUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum
Aziza Istiqomah (et.al). Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Orang atau Barang yang dilakukan Secara Bersama-sama. Jurnal Recidive, Vol. 11, No. 2, 2022;
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.
[14] Aziza Istiqomah (et.al). Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Orang atau Barang yang dilakukan Secara Bersama-sama. Jurnal Recidive, Vol. 11, No. 2, 2022, hal. 110-111